PERTANYAAN:
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Semoga Pak Kiai dan keluarga senantiasa diberi-Nya kesehatan dan kelancaran menjalankan kegiatan sehari-hari. Amin!
Pak Kiai, saya ingin bertanya. Ketika kita atau umat muslim melakukan kesalahan atau dosa lalu bertaubat, tetapi mengulangi dosa lagi sampai empat kali, lalu kali ini kita ingin benar-benar bertaubat, apakah taubat kita diterima oleh Allah SWT?
Itu saja pertanyaan saya Pak Kiai. Semoga Pak Kiai berkenan menjawabnya dan tak lupa saya haturkan terima kasih atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
PENANYA
Ita Tarwiyah,
Mahasiswi, Lebak Banten
JAWABAN
Wa’alaikumussalam, Wr. Wb.
al-Hamdulillah, puji dan syukur kepada Allah SWT, saya dan keluarga masih diberikan kesehatan dan kemudahan oleh Allah SWT untuk menjalankan kegiatan sehari-hari. Semoga Sdr Ita Tarwiyah dan keluarga juga senantiasa diberi-Nya kesehatan dan kemudahan menjalankan kegiatan sehari-hari. Amin!
Sdr Tarwiyah yang baik. Setiap manusia punya kesalahan atau dosa, karena manusia itu tempatnya keliru. Orang bijak mengatakan, al-insanu mahal al-khata’ wa al-nisyan (manusia itu tempatnya salah dan lupa). Sebagai manusia, Rasulullah SAW-pun terkadang keliru. Hanya saja bedanya, kalau keliru, beliau langsung ditegur dan diingatkan oleh Allah SWT. Kalau kita yang keliru, yang mengingatkan ya manusia juga. Mungkin juga sesekali Allah SWT mengingatkan kita, namun tidak secara langsung melainkan melalui isyarat-isyarat yang diberikan-Nya. Dan kitapun harus pintar-pintar menangkap isyarat itu untuk segera bertaubat atau melakukan peleburan dosa.
Rasulullah SAW mengingatkan: Setiap bani Adam berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Imam al-Tirmidzi, Imam Ibn Majah dan Imam Ahmad). Jika salahnya berhubungan dengan Allah SWT, ya mintalah ampunan pada-Nya. Dan kalau kelirunya berkaitan dengan manusia, ya mintalah ampunan pada manusia dan Allah SWT juga. Dengan pertaubatan ini, insya Allah kita akan terlahir kembali sebagai orang yang bersih dari noda-noda hitam laksana jabang bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya (ka yaum waladathu ummuhu).
Dan al-hamdulillah, Islam memberikan keseimbangan ajaran antara naluri kesalahan manusia dengan metode peleburannya. Makanya, di dalam ajaran kita, setiap jengkal kesalahan selalu diberi kesempatan perbaikan melalui pintu pertaubatan. Umat terdahulu, pada zaman Nabi Musa A.S. misalnya, juga punya mekanisme pertaubatan. Namun dengan cara dan konsekuensi berbeda. Dulu, kalau ada yang berbuat kemusyrikan, seperti menyembah al-‘ijl (sapi emas) misalnya, mereka diberi pinta taubat namun dengan jalan membunuh dirinya sendiri. Allah SWT berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri sendiri dengan menjadikan anak sapi (sebagai sembahan kalian). Maka bertobatlah kepada Tuhan Pencipta kalian dan bunuhlah diri kalian. Hal itu adalah lebih baik bagimu di sisi Tuhan Pencipta kalian, kemudian Ia menerima tobatmu. Sesungguhnya Ia Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Baqarah: 54). al-Hamdulillah, cara ini sudah tidak berlaku lagi bagi kita dan sudah lebih mudah, tanpa perlu membunuh diri kita.
Dalam Hadis riwayat Imam Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Rasulullah SAW menjelaskan: “Sesungguhnya, ketika seorang mukmin melakukan sebuah dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat dan minta ampunan, maka hatinya dibersihkan (dari noda hitam itu). Dan jika dosanya bertambah, maka bertambahlah noda hitamnya. Itulah ron yang disebutkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an al-Karim: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu ron (menutupi) hati mereka.”” (Qs. al-Muthaffifin: 14).” Hadis ini menunjukkan, dalam diri kita ada potensi dosa, sekaligus ada mekanisme peleburannya. Inilah yang harus selalu kita perhatikan, mengingat kita adalah manusia tempat bersarangnya ragam dosa. Dosa-dosa kita jangan dibiarkan kian banyak dan menumpuk, karena hati akan berkarat dan tidak mustahil, cahaya hati menjadi padam oleh karat-karat hitam yang menutupinya. Allah SWT pun menjadi jauh dan setanpun kian dekat dengan kita. Na’udzu billah min dzalik.
Karena itu, cepat-cepatlah berbuat baik sebelum kita sibuk dengan perbuatan buruk dan buru-burulah kita bertaubat sebelum maut menjemput. Insya Allah, Allah SWT Yang Maha Ghafur akan menerima taubat kita selagi nyawa kita belum sampai ujung tenggorokan, seberapapun besar dan berat kesalahan kita. Fir’aun Si Pengaku Tuhan dari Mesir bertaubat ketika nyawanya di ujung gelombang laut saat tenggelam. Tentu saja Allah SWT mengabaikan taubatnya, karena ia melakukannya saat nyawa di ujung tanduk. Untuk itu, selagi masih ada usia, segeralah bertaubat dan memperbaiki diri untuk mendapatkan cinta-Nya. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Qs. al-Baqarah: 222).
Bagaimana jika setelah bertaubat, berbuat dosa lagi, lalu bertaubat lagi, lantas berdosa lagi, hingga empat kali? Jangankan empat kali, lebih dari itupun, kalau pada akhirnya kita bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubatan nashuhan), benar-benar mengharap ridha-Nya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, Insya Allah Allah SWT akan tetap menerima taubat kita. Yang tahu kita bertaubat sungguhan atau tidak, hanya Allah SWT. Dan insya Allah, ampunan Allah SWT lebih didahulukan-Nya ketimbang murka-Nya. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Baqarah: 37).
Dengan demikian, insya Allah taubat kita tetap diterima oleh Allah SWT kendati kita melakukan dosa untuk kesekian kalinya, asalkan taubat yang kita lakukan tidak main-main dan tidak taubat sambel. Pertaubatan kita harus ditunjukkan secara sungguh-sungguh melalui pengakuan lisan, penyesalan hati dan tindakan positif melalui amaliah keseharian. Allah SWT butuh bukti nyata taubat, bukan pengakuan semata.
Itu jawaban yang bisa saya sampaikan. Semoga bisa dipahami dan semoga kita bisa lebih baik lagi dalam menjalani kehidupan sehari-hari ini. Amin! Wa Allah a’lam bi al-shawab.[]
Cikulur, 18 Juli 2012