PERTANYAAN:
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Semoga Pak Kiai dan keluarga senantiasa diberi-Nya kesehatan dan kesuksesan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Amin!
Pak Kiai, saya Rossa dari Makassar. Usia saya saat ini sudah 29 tahun. Setiap Ramadhan, sama seperti wanita pada umumnya, saya mengalami halangan (haid) dan saya menggantinya atau meng-qadha-nya di bulan lain, dengan berpuasa Senin-Kamis (dengan niat qadha Ramadhan dan puasa sunnah). Pak Kiai, saya baru melakukan hal ini (qadha puasa) empat tahun terakhir. Sebelum-sebelumnya saya tidak melakukannya.
Pertanyaan saya, bagaimana dengan hutang puasa saya di tahun-tahun sebelumnya, yang belum sempat terbayarkan dan saya sudah tidak tahu persis berapa jumlahnya? Apa yang mesti saya lakukan Pak Kiai? Mohon penjelasannya.
Itu saja pertanyaan saya Pak Kiai. Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
PENANYA
Rossa,
Makassar
JAWABAN
Wa’alaikumussalam, Wr. Wb.
al-Hamdulillah, saya dan keluarga sehat selalu. Semoga Sdr Rossa dan keluarga yang jauh di Makassar sana juga dalam keadaan sehat-sehat saja. Amin! Terima kasih atas pertanyaannya.
Memang benar, sesuai ketentuan Islam, wanita yang haid tidak diperkenankan menjalankan kewajiban agama, termasuk puasa Ramadhan. Ini sesuai Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam al-Bukhari. Beliau bersabda: “Bukankah wanita itu jika sedang haid dia tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.” Ini menunjukkan, wanita haid harus istirahat sementara dari menjalani ritual keagamaan. Alasannya, ia dalam keadaan tidak suci, sementara ritual keagamaan harus dijalani dalam keadaan suci, karena ini menyangkut hubungan dengan Yang Maha Suci.
Selain itu, menurut Imam Ibn Taimiyah, ada hikmah lain kenapa wanita haid tidak diperkenankan menjalankan puasa. Menurutnya, haid menyebabkan keluarnya darah, yang terkadang cukup banyak. Puasa dalam kondisi seperti ini akan menguras tenaga, sehingga berdampak pada menurun dan melemahnya kondisi tubuh, sebab puasanya tidak dalam kondisi fisik yang seimbang. Karena itu, wanita haid diperintahkan berpuasa di luar waktu haidnya.
Itu sebabnya, atas terjadinya siklus rutin bulanan ini, wanita haid wajib meng-qadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkannya pada hari lain di luar Ramadhan. Ini berlandaskan Hadis Rasulullah SAW dari ‘Aisyah r.a., yang berkata: “Kami mengalami haid pada masa Rasulullah SAW. Maka kami diperintahkan meng-qadha’ puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha’ shalat.”
Alokasi waktu meng-qadha puasanya selama setahun sebelum datang Ramadhan berikutnya. Kalau waktu qadha-nya dibebaskan kapan saja, maka hutang puasanya bisa menumpuk-numpuk. Dan waktunya juga bisa kapan saja, tidak harus langsung setelah Ramadhan selesai. Bisa berurutan dan bisa tidak alias diselang-seling. Dalam bulan ini, puasa 2 hari. Bulan berikutnya 3 hari; dan seterusnya. Atau bisa langsung sejumlah puasa yang ditinggalkan. Itu soal teknis. Yang penting diperhatikan adalah alokasi waktunya.
Nah, terkait pertanyaan Sdr Rossa, bagaimana jika hutang puasa itu belum dibayar hingga bertahun-tahun? Bagaimana solusinya? Harapan saya, mudah-mudahan ini terjadi bukan karena Sdr Rossa sepele atau abai dengan ketentuan agama Islam. Kalau sepele atau abai, ini yang tidak benar. Namun jika karena ada halangan, insya Allah lain persoalan, kendati juga tidak bijaksana. Mudah-mudahan saja, ini karena Sdr Rossa sedang alfa, sehingga hingga kini belum menjalankan kewajibannya membayar hutang puasa.
Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan terkait pertanyaan Sdr Rossa ini. Pertama, al-hamdulillah, Sdr Rossa menyadari bahwa yang selama ini dilakukan itu tidak sesuai anjuran agama, sehingga ada upaya memperbaiki diri. Kesadaran ini insya Allah dicatat sebagai kebaikan oleh Allah SWT. Apalagi, sebagaimana dituturkan Sdr Rossa, selama empat tahun belakangan, kebiasaan meninggalkan qadha puasa itu tidak lagi dilakukan. Ini point penting bagi siapapun yang ingin berubah di hadapan Allah SWT. Dan semoga, ke depan, Sdr Rossa kian disiplin menjalankan ajaran agama.
Kedua, hutang, apapun bentuknya, baru beres urusannya jika sudah dibayar atau ditunaikan, lebih-lebih hutang kepada Allah SWT, dalam hal ini hutang puasa. Tentu saja, kecuali jika Allah SWT Yang Maha Ghafur mengampuninya. Namun tentu saja, Allah SWT akan mengampuni jika kita sudah melakukan penebusan dengan meng-qadha-nya. Jika belum? Inilah pokok persoalannya.
Dalam kententuan Islam, jika alokasi puasa selama setahun tidak terpenuhi, maka kewajibannya menjadi berganda; kewajiban meng-qadha dan kewajiban bayar tebusan atas “keteledoran” kita. Ini konsekuensi logis saja, karena hukum itu harus dilaksanakan secara disiplin, sehingga tidak dibuat mainan. Soal kewajiban meng-qadha-nya, tentu saja disesuaikan jumlah puasa yang ditinggalkan. Kalau yang ditinggalkan tujuh hari, ya membayarnya tujuh hari. Kalau tidak terhitung? Pastinya bisa dihitung atau setidaknya diperkirakan.
Kita coba berasumsi atau mengira-ngira. Katakanlah Sdr Rossa sudah wajib menunaikan puasa sejak usia 12 tahun, setelah haid yang pertama datang. Sampai usia ke-29, berarti Sdr Rossa sudah wajib berpuasa selama 17 tahun. Sesuai penuturan Sdr Rossa, qadha puasa yang tuntas dijalankan baru empat tahun belakangan. Dengan demikian, 13 tahun alias 13 Ramadhan, qadha puasa itu tidak terselesaikan. Jika dalam setiap Ramadhan Sdr Rossa haid selama 7 hari, maka total hutang puasa yang belum terbayarkan sejumlah 7 hari x 13 Ramadhan = 91 hari. Seimbang dengan tiga bulan. Maka, Sdr Rossa harus mulai mencicil qadha ini sedikit demi sedikit. Hutang puasa Ramadhan mana yang harus didahulukan, maka itu terserah Sdr Rossa. Tapi utamakan dulu bayar hutang puasa Ramadhan tahun ini, baru yang sebelum-sebelumnya. Jika diniati sungguh-sungguh, insya Allah dalam setahunpun akan selesai. Tentu tidak mudah, namun tidak mustahil dilaksanakan.
Selain itu, sebagai denda keteledoran, maka Sdr Rossa juga harus mengeluarkan fidyah (denda) sebagai kafarat atau tebusan. Menurut ketentuan Islam, denda itu berupa memberi makan seorang miskin sesuai jumlah hari puasa yang belum terbayarkan. Jika Sdr Rossa diasumsikan berhutang 91 hari, maka fidyah makanan itu diberikan kepada 91 orang miskin (utamanya 91 orang, bukan satu orang miskin dikasih makan selama 91 hari). Setiap orang miskin diberi makanan sejumlah satu mudd makanan pokok untuk sehari atau sekitar 750 gram beras untuk konteks Indonesia, dengan lauk pauk yang memadai.
Yang mungkin lebih berat, maka fidyah memberi makan orang miskin ini berlaku kelipatannya. Jika hutang puasa itu tertunda setahun, maka berlaku satu mudd perhari. Jika tertunda dua tahun, maka dua mudd perhari. Jika tertunda tiga tahun, maka tiga mudd perhari; dan begitu seterusnya. Ini untuk membedakan dan memberikan pelajaran; bahwa ketertundaan setahun dengan dua, tiga, empat, lima, enam tahun dan seterusnya, harus dikenai sanksi yang berbeda dan seimbang. Untuk itu, Sdr Rossa harus menghitung baik-baik keterlambatan ini. Tentu saja, ini kalau Sdr Rossa mampu melakukannya. Kalau tidak mampu, lakukan saja yang mampu dan bisa dilakukan. Selebihnya, mintalah ampunan pada Allah SWT dan berniatlah lebih disiplin lagi menjalankan ajaran-Nya.
Itu jawaban yang bisa saya sampaikan. Semoga bisa dipahami dan semoga kita bisa lebih berhati-hati dalam menjalankan ajaran-ajaran agama. Wa Allah a’lam bi al-shawab.[]
Cikulur, 24 Juni 2012