PERTANYAAN
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Semoga Pak Kiai selalu sehat dan senantiasa diberi keberkahan oleh Allah SWT. Amin!
Pak Kiai, saya punya pertanyaan, yang sebenarnya menyangkut teman saya. Pak Kiai, teman saya baru dipindahkan bekerja di sebuah restoran milik seorang pengusaha nonmuslim. Kedudukan dia di kantor barunya ini, cukup penting, yaitu sebagai menejer. Namun, dia saat ini mengalami kebingungan, karena makanan-makanan yang disajikan di restoran itu diharamkan oleh Islam, termasuk diantaranya babi. Dia pernah minta dipindahkan ke kantor pusat, tapi tidak diberi izin.
Pak Kiai, yang ingin saya tanyakan, bagaimana status pekerjaan teman saya itu dan bagaimana uang gaji yang dihasilkannya? Di sisi lain, dia harus tetap bertanggungjawab menafkahi keluarganya. Jika meninggalkan pekerjaan yang sekarang, dia kuatir tidak bisa menafkahi keluarganya. Inilah yang membuatnya bingung.
Itu saja Pak Kiai, pertanyaan yang saya sampaikan. Besar harapan saya, Pak Kiai berkenan memberikan solusi terbaik untuk teman saya. Terima kasih banyak atas masukannya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
PENANYA
Uum Umriyah
Mahasiswi, Lebak Banten
JAWABAN
Wa’alaikumussalam, Wr. Wb.
al-Hamdulillah, saya dan keluarga sehat-sehat saja. Semoga Teh Uum dan keluarga juga senantiasa sehat. Amin!
Membaca cerita di atas, saya bisa memahami kegundahan teman Teh Uum itu. Di satu sisi, sebagai penanggungjawab rumah tangga, dia wajib memberikan nafkah untuk mereka. Di sisi lain, uang yang dihasilkan ternyata dari hasil jual beli makanan yang diharamkan oleh Islam seperti babi. Inilah masalah yang muncul ketika kita dihadapkan pada dua hal; membela ajaran agama dengan mengorbankan keluarga atau membela keluarga dengan mengabaikan ketentuan Islam. Idealnya, tentu saja keluarga tidak terabaikan dan ajaran agama juga tidak ditinggalkan.
Teh Uum, sebenarnya ada dua hal yang penting dicermati dari masalah ini. Pertama, tentang bekerja pada non-muslim. Insya Allah, bekerja pada orang yang berbeda agama tidak dilarang, asalkan dia tidak mengajak kita kepada kemusyrikan dan kita tidak bekerja untuk hal-hal yang dilarang oleh Islam. Namun untuk kehati-hatian, tentu saja kita harus memastikan segala hal yang bersangkutan dengannya itu tidak melanggar ketentuan Islam.
Kedua, tentang jual beli makanan yang diharamkan oleh Islam, seperti babi. Ini yang dialami teman Teh Uum. Menurut saya, segala sesuatu yang dihasilkan dari barang haram, itu juga haram atau tidak boleh. Apalagi babi yang jelas-jelas diharamkan oleh Islam. Ayat al-Qur’annya jelas. Allah SWT berfirman: hurrimat ‘alaikumul maitatu waddamu wa lahmul khinzir (diharamkan bagi kalian bangkai, darah dan daging babi). Ini sama halnya orang yang memakan hasil menjual minuman keras. Menjualnya saja haram, apalagi meminumnya.
Menurut hemat saya, selagi kita masih bisa dan mampu mencari pekerjaan yang lebih halal, lebih baik kita mencarinya. Kenapa kita tidak mencobanya? Insya Allah, pintu yang satu tertutup, maka akan terbuka pintu-pintu yang lain, apalagi untuk membela kehalalan. Teman Teh Uum kan memiliki keahlian di bidang menejer dan pastinya dibutuhkan oleh banyak kantor atau perusahaan. Kenapa tidak mencoba ke perusahaan lain saja?
Atau bisa juga, misalnya, dia berkomunikasi dengan bosnya agar tidak menjual sajian-sajian makanan yang diharamkan oleh Islam. Kalau tetap tidak memungkinkan, karena barangkali menurut bosnya barang-barang yang disajikan tidak terlarang bagi agamanya, maka dia harus mengambil tindakan tegas. Mau sampai kapan dia terus-terusan bekerja di sana, sedangkan dia tahu kalau pekerjaannya sangat bertentangan dengan ajaran yang dianutnya?
Selain itu, dia juga harus memikirkan keluarganya jika tetap diberi makan dari hasil barang haram. Kasian istri dan anak-anaknya. Menurut Islam, daging dan darah yang tumbuh dari makanan haram akan menyebabkan rusaknya ibadah dan bahkan Allah SWT tidak menerimanya. Ibnu Ruslan dalam al-Zubad-nya mengatakan; wa tha’atun mimman haraman ya’kulu # mitslul bina’i fauqa maujin yuj’alu (ketaatan orang yang memakan makanan haram # ibarat membangun bangunan di atas buih lautan). Tentu akan sia-sia. Kasian kan anak-isterinya?
Insya Allah, jika teman Teh Uum berani meninggalkan pekerjaannya semata-mata karena Allah SWT dan karena ajaran agama yang dianutnya, juga untuk membela anak-istrinya, maka Allah SWT akan memberikan gantinya. Allah SWT selalu hadir untuk hamba-hamba-Nya yang taat. Allah SWT, dalam al-Qur’an juga berjanji: wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib (Siapa bertakwa kepada Allah, maka Ia akan membuatkan jalan keluar baginya dan Ia akan memberikan rizki dari jalan yang tidak terduga). Dengan meninggalkan pekerjaan yang haram, berarti dia telah menjalankan ketakwaan pada-Nya. Insya Allah, jalan keluar itu akan datang dan keluarga akan memahaminya. Jadi, tidak perlu takut dan ragu untuk melakukan hal-hal yang baik, karena justru dengan cara inilah dia sedang membela agama dan keluarganya.
Demikian jawaban singkat yang bisa saya berikan. Semoga jawaban ini ada manfaatnya, sehingga kawan Teh Uum bisa segera mengambil keputusan tegas, tidak berlama-lama bekerja untuk hal-hal yang dilarang Islam. Tak lupa, mohon sampaikan salam saya padanya. Wa Allah a’lam.[]
Cikulur, 26 Oktober 2011