Bekerja sama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dan Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), Pondok Pesantren Qothrotul Falah Cikulur Lebak Banten menggelar diskusi publik bertajug “Halqah Fikih Peradaban: Fikih Siyasah antara Perang dan Damai”.
Acara yang dihelat di GOR Terbuka Qothrotul Falah, pada Ahad, 20 November 2022 pagi hingga siang, ini dihadiri oleh ratusan hadirin, baik kiai, ustadz maupun santri senior. Tampak hadir juga Ketua Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Qothrotul Falah KH. Abdurohman Syatibi, M.Pd., Ketua Baznas Kab. Lebak KH. Wawan Gunawan, S.Sos., Ketua MWCNU Cikulur, KH. Syahroni dan sebagainya.
Didaulat sebagai pemateri, Prof. Dr. KH. Wawan Wahyuddin, M.Pd. (Rektor UIN SMH Serang), Dr. Hj. Nur Rofiah, Bil.Uzm (Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta) dan K. Idris Masudi, M.Hum. (Dosen Unusia Jakarta).
Bertindak sebagai moderator, H. Nurul H. Maarif dan Agus Faiz Awaluddin, keduanya guru Pondok Pesantren Qothrotul Falah. Kegiatan ini dibagi dalam dua sesi; sesi pertama untuk pemberian wacana keagamaan tentang perang dan damai; sesi kedua untuk merumuskan hasil kegiatan yang akan disampaikan ke PBNU.
Kegiatan Halqah Fikih Peradaban sendiri dihelat di 250 pesantren di seluruh Indonesia, dengan menghadirkan berbagai pemikir yang kompeten di bidangnya. Di Lebak kegiatan ini diadakan di dua pesantren: Ponpes Qothrotul Falah dan Ponpes al-Marjan Mulabaru.
Sedangkan point penting yang menjadi tujuan kegiatan ini adalah; Pertama, mendiskusikan dan merumuskan fikih siyasah dalam konteks negara bangsa yang meliputi status kewarganegaraan, kedudukan minoritas, konsep al-thughur (batas yang harus dijaga setiap saat melalui jihad tahunan (permanent jihad), serta kaidah pokok dalam pergaulan internasional.
Kedua, meningkatkan iklim ilmiah di kalangan pesantren, guna merespon isu-isu kontemporer sebagai upaya untuk berkontribusi terhadap pengembangan khazanah keilmuan pesantren.
Dalam kegiatan ini, setidaknya beberapa rumusan rekomendasi berhasil dibuat. Misalnya, 1) ayat-ayat dan Hadis tentang perang turun dalam konteks khusus. Karena itu, kaidah usul fikih yang digunakan atas ayat maupun hadis tersebut adalah: al-Ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafzi.
2) Warga NU perlu mengimplementasikan prinsip-prinsip ke-NU-an: Tawassuth, Tawazun, Tasamuh, I’tidal beserta Mabadi’ khaira ummah (al-amanah, al-shidqu, al-ta’awun, al-wafa’ bil ‘ahdi, dan al-istiqamah);
3) Fikih Siyasah merupakan bagian dari fikih muamalah yang kaidahnya adalah: al-Ashlu fil mu’amalah al-ibahah hatta yadulla al-dalil ‘ala tahrimih. Dengan kaidah ini dapat dipahami bahwa pada dasarnya bentuk apapun sebuah negara itu diperbolehkan.
4) PBNU dan para kiai pesantren perlu membuat kitab-kitab komentar (syarah, ta’liqat,) kitab-kitab yang dipakai di pesantren, khususnya kitab fikih yang kontekstual; 5) PBNU dan para kiai pesantren perlu membuat konten-konten medsos (yutub, insta, FB, tiktok, dll) yang mengusung ajaran rahmatan lil ‘alamin, sehingga masyarakat terwarnai oleh cara pandang yang wasathan; dan sebagainya.
Semoga saja, kegiatan ini menghadirkan angin baru bagi para agamawan di pinggiran kota terkait pentingnya hidup berdampingan dengan siapapun yang berbeda latar belakangnya, sebagai warga negara Indonesia yang hidup dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Inilah kunci hidup rukun yang saling menghargai antar sesama.[nhm]