Oleh Nurul H. Maarif*)
Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU), yang diselenggarakan Rabu-Jum’at (27/2-1/3/2019), di Pondok Pesantren Miftahul Huda al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, menghasilkan beberapa keputusan penting dalam kontek kehidupan berbangsa dan bernegara; diantaranya menghindari penyebutan “kafir” untuk saudara-saudara kita warga negara Indonesia yang bukan Islam dan menggantinya menjadi “non-muslim”.
Melalui Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyyah, para alim-ulama pesantren ini menelaah serius teks al-Qur’an, Hadis dan karya-karya ulama klasik, sebelum mengambil keputusan itu. “Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” kata Wakil Ketua Lembaga Bahsul Masail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), Abdul Moqsith Ghazali, dalam keterangan pers, Jum’at (1/3/2019).
Merespon keputusan ini, beragam pandangan segera bermunculan; baik yang menolak maupun yang mengapresiasi. Yang menolak beranggapan alim-ulama Nahdhatul Ulama (NU) akan mengganti term kafir dalam al-Qur’an menjadi non-muslim dan bahkan dinilai mengingkari terma yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Lalu muncul asumsi-asumsi liar, bahwa redaksi “qul ya ayyuha al-kafirun” dalam Qs. al-Kafirun akan diganti menjadi “qul ya ayyuha non-muslim”; dan banyak reaksi negatif lain yang berawal dari cara pandang yang kurang pas atau bahkan gagal paham. Yang apresiatif menilai ini kemajuan penting dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebuah lompatan yang patut diacungi jempol, karena akan menjadi pijakan penting harmonisasi hubungan antar keragaman di negeri ini. Negara ini dibangun di atas keragaman dan sudah semestinya dijaga dan riwarat dengan jalan saling menghormati satu dengan yang lain.
Terkait hiruk-pikuk ini, kiranya beberapa catatan penting perlu disampaikan, terkhusus untuk mereka yang memandang negatif keputusan alim-ulama NU ini. Pertama, apa yang dihasilkan Munas-Mubes PBNU hanyalah fatwa atau himbauan, yang sifatnya tidak mengikat. Bagi yang sependapat, dipersilahkan mengikutinya dengan gembira dan bagi yang tidak sejalan dipersilahkan menghindarinya juga dengan kelegowoan. Tidak perlu dibesar-besarkan apalagi digoreng sedemikian rupa untuk tujuan tertentu yang negatif. Hanya yang tidak memahami dinamika perbedaan pandangan di kalangan para ulama saja yang menganggap keputusan ini negatif. Bagi yang tidak sependapat, lebih baik dan lebih elegan membuat forum serupa untuk menghasilkan himbauan bagi kaum muslim umumnya terkait dengan hiruk-pikuk penggunaan non-muslim ini. Biarkan mereka menilai pandangan mana yang dinilai lebih tepat dan lebih cocok bagi acuan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri yang penuh keragaman ini.
Kedua, keputusan ini tidak dihasilkan secara ujug-ujug atau tiba-tiba, apalagi untuk kepentingan pragmatis sesaat. Tanggungjawab akademik di hadapan manusia dan tanggungjawab moral di hadapan Allah Swt tentu menjadi pertimbangan kehati-hatian yang tidak bisa diabaikan. Tidak ada sangkut-paut dengan hiruk-pikuk politik. Ini keputusan akademik yang berorientasi pada kemaslahatan hidup bersama (al-mashlahah al-‘ammah) sebagai bangsa. Keputusan ini diambil oleh alim-ulama pesantren yang mendalami kajian keislaman dengan serius. Mereka bukan ulama karbitan yang menerima pengetahuan secara instan melalui media sosial. Mereka mendalami nahwu, sharaf, manthiq, balaghah, ulum al-tafsir, tafsir, fikih, ushul al-fiqih, bahasa Arab, ulum al-hadits, hadits dan sebagainya.
Ketiga, mendengarkan beberapa keterangan alim-ulama yang terlibat langsung dalam Munas-Mubes itu, sesungguhnya yang menjadi tema pokok pembahasan itu apakah dalam konteks NKRI, orang-orang non-muslim masuk dalam kategori kafir harbi (kafir yang memerangi kaum muslim yang karenanya wajib diperangi), kafir dzimmi (kafir yang membayar upeti untuk mendapat perlindungan), kafir mu’ahad (kafir yang melakukan perjanjian damai) dan kafir musta’man (kafir yang dilindungi karena memohon perlindungan). Jawabannya, non-muslim di negeri ini tidak masuk dalam salah satu ketegori kafir itu, karena mereka hidup dalam bingkai NKRI. Untuk itu, sebutan kafir dalam konteks nation-state atau negara-bangsa menjadi tidak relevan dan sudah semestinya ditinjau ulang. Bukan soal keyakinan teologisnya, karena itu sudah jelas berbeda, melainkan lebih pada penyebutan sosialnya.
Keempat, asumsi Nahdhatul Ulama (NU) akan menghapus term kafir dalam al-Qur’an dengan non-muslim menjadi tidak relevan. Sekali lagi, ini hanya penyebutan dalam konteks warga negara dan sesungguhnya kita sudah biasa melakukannya. Misalnya, dalam ruang-ruang publik yang dihadiri kalangan beragam agama, kita acap berkata: “Silahkan bagi non-muslim berdoa menurut agamanya masing-masing.” Kita tidak mengatakan: “Silahkan bagi yang kafir berdoa menurut keyakinannya masing-masing.” Apakah ungkapan ini keliru dan berarti akan mengganti term kafir dalam al-Qur’an? Tentu tidak sama sekali! Asumsi yang sangat keliru, karena tidak mungkin alim-ulama yang taat pada ajaran al-Qur’an dan Hadis justru akan mengganti atau mengingkari ajaran yang tertera di dalamnya.
Kelima, jika kita masuk ke Arab Saudi melalui bandara Jeddah misalnya, lalu menuju ke Haram, kita akan menemukan beberapa jalan yang bertuliskan: “Thariq ghair al-muslimin”. Jalan khusus untuk non-muslim. Yang tertulis bukan “thariq al-kafirin”, jalan untuk orang kafir. Ini karena menghargai penyebutan kafirin secara sosial, bukan soal keyakinan batin mereka yang memang pasti berbeda dengan kita. Di Kartu Tanda Penduduk (KTP), di beberapa negara Islam, penduduk yang beragama selain Islam juga ditulis “ghair al-muslimin” alias bukan muslim. Karena itu, semestinya, dengan melihat beberapa fakta di negara lain, kita tidak perlu reaktif berlebihan, karena ini hal yang biasa.
Keenam, beberapa tokoh dunia Islam, yang sangat disegani, semisal Yusuf al-Qardhawi, juga mengusulkan penggunaan istilah non-muslim sebagai pengganti kafir, dalam konteks sosial. Dalam karyanya, Khithabuna al-Islami fi ‘Ashr al-‘Aulamah (hal. 44-45), beliau menuliskan sub judul “Non-Muslim sebagai Pengganti Kata Kafir”. Dituliskannya, hendaknya kita tidak memanggil yang berbeda keyakinan dengan sebutan kafir atau kuffar, walaupun kita meyakini kekufuran mereka secara aqidah. Lebih-lebih jika mereka Nashrani dan Yahudi (Ahli Kitab).
Alasan yang dikemukakan Yusuf al-Qardhawi, antara lain: 1) term kafir memiliki beragam makna. Termasuk di dalamnya orang yang berbeda keyakinan dengan kaum muslim. 2) al-Quran mengajarkan kita untuk tidak memanggil manusia, kendatipun kafir, dengan panggilan kafir. Allah Swt memilih memanggil: wahai manusia, wahai Anak Adam, dan wahai Ahli Kitab. Dalam sejarahnya, Rasulullah Saw juga tidak memanggil “wahai kafir”, pada yang berbeda keyakinan. Mertuanya, Huyay bin Akhtab, ayah Shofiyyah, yang beragama Yahudi tidak dipanggilnya “si kafir”. Mukhairiq, pendeta Yahudi yang gugur berperang membela kaum muslim dalam Perang Uhud, juga tidak dipanggilnya “si kafir”.
Dalam al-Qur’an sendiri, hanya dua kali Allah Swt memanggil orang-orang yang di luar Islam dengan panggilan “wahai orang-orang kafir”, yakni pada Qs. at-Tahrim: 7 dan Qs. al-Kafirun: 1. Menurut Yusuf al-Qardhawi, Allah Swt memanggil mereka dengan kafir dalam Qs. al-Kafirun, karena Ia tengah menegur keras kaum musyrikin penyembah berhala yang mengajak kompromi ibadah pada Rasulullah Saw, supaya beliau dan kaum muslim menyembah tuhan-tuhan mereka setahun, lalu mereka menyembah Allah Swt setahun. Surat itu turun untuk menolak tegas ajakan mereka yang keji itu. Namun di akhir ayat, Allah Swt berfirman lembut: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Atas dasar itu, maka semestinya kita memosisikan terma non-muslim ini semata panggilan dalam konteks sosial. Menjadi lucu jika kita menyikapi keputusan Munas-Mubes PBNU itu secara berlebihan. Dan sesuatu yang sudah terbiasa kita menggunakannya secara sosial, tidak selaiknya kita alergi hanya karena menjadi keputusan bersama dalam Munas-Mubes alim-ulama NU.[]
*) Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Wakil Ketua PCNU Lebak.
(HU Radar Banten, 4 Maret 2019)