Menjadi Manusia Baru

BAGIKAN:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Nurul H. Maarif*)

Tak lama lagi Ramadan pergi meninggalkan kita semua. Idul Fithri, 1 Syawal, segera hadir, menandai selesainya penunaian kewajiban puasa wajib selama sebulan penuh. Hari Raya Fithri atau Idul Fithri, acap dinilai sebagai Hari Kemenangan melawan hawa nafsu; makan, minum, hubungan biologis atau perilaku negatif lainnya. Simbol-simbol kemenangan bermunculan, seumpama pakaian baru dan makanan yang berlimpah di mana-mana.

Idul Fithri, tentu saja tidak identik dengan pakaian atau baju baru. Laisa al-‘id li man labisa al-jadid // wa lakinna al-‘id liman tha’atuhu tazid (hari raya bukanlah bagi orang yang mengenakan pakaian baru // melainkan, hari raya itu bagi orang yang ketaatannya bertambah). Ketaatan yang bertambah, ketekunan ibadah yang merangkak naik, kemaksiatan yang menurun drastis, itulah penanda hadirnya Idul Fithri yang sesungguhnya.

Namun demikian, Idul Fithri itu sendiri, sejatinya bisa dimaknai dalam dua perspektif: kebahasaan dan filosofis. Pertama, dalam konteks kebahasaan, seringkali id dimaknai sebagai Hari Raya, hari besar yang memiliki nilai monumental, sehingga perlu dirayakan. Id yang bermakna hari perayaan ini bisa dilihat dalam Qs. al-Maidah [5]: 114: “Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya (‘idan) bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami.”

Kala itu, untuk membuktikan kerasulan Nabi Isa, Bani Israil memintanya berdoa, supaya Allah Swt menurunkan makanan (maidah) langsung dari langit. Turunnya maidah lalu dijadikan perayaan bagi mereka dengan penuh suka cita. Sedang fithr bermakna makan pagi atau sarapan. Fathara sendiri makna dasarnya adalah tindakan awal. Fithr disebut sarapan, karena itulah makan pertama yang dilakukan setiap harinya. Karena itu, Idul Fithri dalam konteks ini bermakna pesta sarapan pagi setelah selama sebulan tidak makan pagi sama sekali.

Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “al-shaum adalah hari kalian berpuasa dan al-fithr adalah hari kalian berbuka.” Pada hari itu, 1 Syawal, tidak ada satupun umat Islam yang berpuasa. Bahkan puasa di hari itu diharamkan. Mereka beramai-ramai kembali makan pagi sebagaimana hari-hari biasanya. Dan hari itu disebut yaum al-dhiyafah atau hari menyuguh tamu, karena antara yang satu dengan yang lain saling berlomba menyuguhkan makanan.

Kedua, dalam konteks filosofis, Idul Fithri acapkali dimaknai sebagai Kembali Suci, kendati menurut banyak pakar bahasa makna ini kurang pas. Setelah menjalani puasa Ramadan sebulan penuh dengan menghindari aneka larangan, maka jiwa menjadi bersih/suci kembali laksana bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. Dosa-dosa diampuni. Kemaksiatan dihapuskan. Tiada cacat, tiada cela. Ibarat kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong dengan membawa keindahan.

Dalam al-Qur’an, kata fithrah ditemukan dalam Qs. al-Rum: 30. Kata fithrah ini, oleh Ibn al-Jauzi (Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir: 3/422) dimaknai sebagai al-khilqah allati khuliqa ‘alaiha al-basyar (penciptaan yang manusia diciptakan pada kondisi itu). Kondisi manusia dalam keadaan yang bersih/suci. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (bersih/suci). Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Dengan demikian, secara filosofis Idul Fithri bisa dimaknai sebagai kembali pada kesucian laksana bayi yang baru terlahir. Inilah kondisi awal manusia. Karena itu, seperti halnya bayi yang polos, orang-orang yang selesai menunaikan puasa semestinya kembali dalam kondisi bersih/suci; tidak punya kebencian, tidak punya permusuhan, tidak memiliki prasangka buruk, dan tidak memiliki sifat negatif lainnya. Inilah hakikat kemenangan yang semestinya dikejar. Dengan sifat fitri ini, kehidupan yang indah nan damai akan terwujud. Inilah manusia baru yang selaiknya terlahir dari proses penggodokan selama Ramadan.[]

*) Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak dan Penerima Apresiasi Pendidikan Madrasah Kemenag Banten 2017 Kategori Guru Madrasah Produktif

(HU Radar Banten, Sabtu, 9 Juni 2018)

Pondok Pesantren Qothrotul Falah

Alamat:
Jl. Sampay-Cileles Km. 5
Ds. Sumurbandung Kec. Cikulur Kab. Lebak
Provinsi Banten (43256)

Developed by