Selain puasa, zakat fitrah adalah ibadah utama dalam rangkaian kesempurnaan Ramadhan. Jika puasa identik sebagai ibadah individual, karena manfaatnya kembali pada pelakunya, maka zakat fitrah identik sebagai ibadah sosial, karena manfaatnya kembali pada pihak lain; mustahik yang delapan.
Adanya dua karakter ibadah individual dan sosial ini, menjadi bukti nyata bahwa Islam menggabungkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Tidak boleh ibadah individual diutamakan dengan mengabaikan ibadah sosial. Atau sebaliknya, ibadah sosial lebih diutamakan dengan mengabaikan ibadah individual. Keduanya harus berjalan beriringan laksana saudara kembar, karena orang beriman sejati senantiasa memikirkan saudaranya sebagaimana ia memikirkan dirinya sendiri.
Dalam konteks Ramadhan ini, zakat fitrah harus dikeluarkan oleh setiap jiwa yang hidup. Apapun latar belakangnya. Juga apapun kondisinya. Diantara ayat yang seringkali dirujuk sebagai landasan kewajiban zakat adalah Qs. al-Taubah: 103. Juga banyak Hadis terkait dengannya.
Pertanyaannya: jika setiap jiwa yang muslim wajib membayar zakat fitrah, maka dalam konteks Provinsi Banten, berapakah zakat fitrah yang mestinya bisa dikumpulkan? Kiranya perlu hitung-hitungan secara matematis untuk mendapatkan jawabannya.
Mengacu pada data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, jumlah pemeluk Islam di Provinsi Banten pada Juni 2022 sebanyak 11,52 juta jiwa. Nominal zakat fitrah yang ditetapkan kisaran Rp. 35.000. Anggap saja kita hitung 11 juta jiwa x Rp. 35.000, maka hasil zakat fitrah yang terkumpul semestinya Rp. 385 milyar. Ini angka yang fantastis dan hanya dalam sebulan Ramadhan.
Pertanyaannya: ke manakah uang sebesar ini berputar? Berapa yang masuk Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Propinsi Banten? Ini yang penting menjadi renungan. Tentu jawabannya bisa beragam; pengelolaan yang belum optimal, tidak semuanya berzakat dalam bentuk uang, banyak yang tidak membayarkan zakatnya di Baznas dan sebagainya.
Dalam renungan singkat ini, Penulis lebih ingin menyoroti hal-ihwal pengelolaannya. Andaikan saja, pengelolaan zakat fitrah di Banten bisa dilakukan melalui satu pintu, Baznas dan UPZ-UPZ di bawahnya, tentu bekerja sama dengan pemerintah, maka potensi itu bisa dimasimalkan, kendati pasti tidak purna seutuhnya. Misalnya, di setiap kecamatan dibentuk UPZ yang benar-benar aktif.
Bekerja sama dengan pihak kecamatan dan desa, melalui UPZ ini, masyarakat dihimbau secara resmi untuk membayarkan zakatnya melalui satu pintu amil zakat pemerintah yang sah. Semua bahu-membahu secara massif “menggiring” mereka masuk pintu yang sama, sehingga pembayaran zakat tidak lagi tercecer.
Dana yang terkumpul, biarkan saja tersimpan di tangkat kecamatan. Lalu, penyalurannya, setiap RT menyodorkan data mustahik di wilayahnya melalui desa; dan desa menyerahkan data itu ke UPZ kecamatan. Dana yang terkumpul di UPZ kecamatan inilah yang akan disalurkan pada mustahik sesuai ajuan dari RT. Ini akan menghadirkan pemerataan penerimaan oleh mustahik.
Hanya tentu saja, model pengumpulan zakat satu pintu ini akan menghadapi beberapa tantangan: Pertama, keyakinan banyak pihak bahwa zakat harus dibayarkan dengan beras dan tidak boleh dengan yang lain, termasuk uang. Model ini dinilai sudah paten dan tidak menerima perubahan, kendati sejatinya ketentuan hukum itu ada yang sifatnya fleksibel mengikuti kondisi dan situasi zaman.
Kedua, tradisi berzakat ke tokoh tertentu, yang dinilai berpengaruh pada diri muzakki (orang yang berzakat). Jika pengaruhnya banyak, maka akan banyak muzakki yang berzakat padanya. Dampak yang muncul, dana zakat akan terkumpul di satu pihak dan akan mengganggu pemerataan penerimaan bagi mustahik. Ini menjadi tantangan tersendiri yang tidak mudah diubah, kecuali jika tokoh bersangkutan legowo mengarahkan muzakkinya pada satu pintu Baznas.
Ketiga, munculnya lembaga-lembaga penarik zakat yang tidak memiliki legalitas dari pemerintah, yang jumlahnya sangat banyak. Jika mengacu pada UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sebenernya lembaga seperti ini bisa dinilai telah melanggar regulasi. Tapi ini tentu tidak mudah diselesaikan, karena selalu ada alasan: “melakukan kebaikan kok nggak boleh!” Sebetulnya bukan tidak boleh, tapi perlu diregulasi untuk menjaga tingkat amanah dan kredibilitasnya.
Karena itu, hayalan Penulis, jika model pengelolaan zakat fitrah (khusus zakat fitrah saja, belum infak sedekah lainnya) bisa dimaksimalkan dalam satu pintu, maka jumlah pengumpulan dana zakat akan maksinal dan akan terjadi pemerataan penerimaan oleh mustahik. Semoga![]
——————
Oleh Dr. H. Nurul H. Maarif, M.A.
(Komisioner BAZNAS Kab. Lebak-Banten)