Manusia adalah makhluk Allah yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa orang lain. Orang bijak seperti Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon atau hewan yang bermasyarakat/bersosial, yang tidak mampu menjalani kehidupan secara individu. Karena itu, manusia hidup saling tolong-menolong satu sama lain. Yang punya menolong yang tidak punya. Yang mampu membantu yang tidak mampu. Yang berlebih menyubsidi yang kekurangan dan seterusnya.
Apalagi dalam ajaran Islam dinyatakan, dalam harta yang kita miliki ada hak orang lain yang membutuhkan dan karenanya wajib disalurkan padanya. Ada penyaluran yang wajib seperti zakat da nada penyaluran yang sunnah seperti sedekah pada umumnya. Dan jika hal-hal bernuansa sosial ini dilakukan, insya Allah selain akan mendapatkan ridha dan pahala dari Allah, pelakunya juga akan dicintai oleh masyarakat. Orang yang dermawan, karenanya akan dekat dengan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, orang yang tidak peduli secara sosial dan hanya memikirkan dirinya sendiri padahal masyarakat membutuhkan uluran tangannya, maka ia akan dijauhi masyarakat sekitarnya.
Hal ini sesuai sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi:
السَّاخِى قَرِيْبٌ مِنَ الله قَرِيْبٌ مِنَ الْجَنَّةِ قَرِيْبٌ مِنَ الناَّسِ بَعِيْدٌ عَنِ الناَّرِ وَالْباَخِلُ بَعِيْدٌ عَنِ الله بَعِيْدٌ عَنِ الْجَنَّةِ بَعِيْدٌ عَنِ الناَّسِ قَرِيْبٌ مِنَ الناَّرِ. الْجاَهِلُ السَّاخِى أَحَبُّ إِلىَ الله مِنَ الْعاَبِدِ الْباَخِلِ (رواه الترمذى)
Artinya: “Orang yang dermawan (al-sakhi) itu dekat dengan Allah Swt, dekat dengan surga, dekat manusia, dan jauh dari neraka. Sedang orang yang pelit (al-bakhil) itu jauh dari Allah Swt, jauh dari surga, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka. Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah Swt ketimbang ahli ibadah yang pelit.” (HR al-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Sabda di atas mengisyaratkan, orang yang dermawan akan mendapat banyak keuntungan sekaligus, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Keuntungan di dunia misalnya, ia akan dekat dengan masyarakat. Hubungan dengan masyarakat akan cair tanpa ada sekat apapun. Di sisi lain, masyarakat juga akan terbantu oleh sikap kedermawanannya.
Banyak ayat al-Qur’an yang mengulas sikap pemurah atau dermawan (al-sakha’) ini. Misalnya, mereka ini adalah:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ (آل عمران: 134)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (Qs. Ali Imran [3]: 134).
Menjelaskan ayat ini, Muhammad ‘Ali al-Shabuni (Shafwah al-Tafasir: I/210) menyatakan, orang-orang yang dermawan sejati itu adalah orang-orang yang menyurahkan atau menyakurkan hartanya fi al-yusr wa al-‘usr (dalam keadaan mudah dan sulit). Sedangkan Wahbah al-Zuhaili (al-Tafsir al-Munir: IV/86) menuliskan, mereka adalah orang-orang yang menyedekahkan hartanya baik dalam keadaan longgar maupun sempit, merdeka maupun terpaksa, sehat maupun sakit dan bahkan dalam segala situasi.
Orang-orang yang ikhlas menyedekahkan hartanya untuk kepentingan sosial, orang yang dermawan, akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Allah Swt, sebagaimana firman-Nya:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (البقرة: 274)
Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. al-Baqarah [2]: 174).
Jelas sekali, kebaikan ada pada diri orang-orang yang dermawan, yang menginfakkan kelebihan hartanya di waktu malam, siang, sembunyi maupun terang-terangan, untuk kepentingan sosial. Karena itu, orang-orang yang bakhil alias pelit tidak patut menyangka perilakunya adalah kebaikan apalagi keluhuran. Allah Swt berfirman:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (آل عمران: 180)
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran [3]: 180).
Itulah resiko bagi orang-orang yang bakhil, yakni hartanya akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Sanksi yang sangat mengerikan tentu saja. Menanggapi ayat ini, karenanya, Wahbah al-Zuhaili (al-Tafsir al-Munir: II/102) menuliskan, jangan mengira kebakhilan itu baik bagi mereka, padahal sesungguhnya kebakhilan itu buruk. Bahkan orang-orang yang kikir/bakhil dan menyembunyikan karunia Allah Swt, akan diberi sanksi azab yang hina. Allah Swt berfirman:
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (النساء: 37)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (Qs. An-Nisa’ [4]: 37).
Itulah ruginya memiliki sifat kikir, baik rugi di dunia maupun terutama kerugian di akhirat. Untuk itu, sifat kedermawanan sepatutnya dijaga dan dirawat karena akan menyelematkan pelakunya baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, orang yang gemar mendermakan hartanya untuk kepentingan masyarakat, juga tidak akan mengalami defivit kekayaan secuilpun di dunia. Tidak ada sejarahnya, gara-gara gemar mendermakan harta, lantas seseorang menjadi miskin, hartanya ludes atau kesulitan makan. Ini sesuai janji Allah Swt dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
وَماَ أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَئْ ٍفَهُوَ يُخْلِفُهُ (سبأ 39)
Artinya: “Dan apa saja yang engkau infaqkan, maka Allah akan mengganti”. (Qs. Saba’: 39).
Janji Allah ini niscaya terlaksana karena Allah la yukhlif al-mi’ad (tidak pernah ingkar janji/Qs. Ali Imran: 9). Dan Allah berjanji akan mengganti harta yang diinfakkan hamba-hamba-Nya, tentu jika dilakukan dengan ketulusan hati karena ingin meraih ridha-Nya. Maka janji inipun akan Allah tunaikan tentu saja. Dengan demikian, keuntungan berlipat akan diraih para penderma li Allah; selain bertambah-tambah hartanya, juga akan dekat dengan Allah Swt dan manusia. Dekat dengan Allah Swt berarti dekat dengan surga-Nya dan jauh dari neraka-Nya. Itulah keuntungan para penderma di akhirat kelak.
Karenanya, dalam Hadis riwayat Imam Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin ‘Umar (Muwaththa’: V/1453), Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari: II/112), Imam Muslim (Shahih Muslim: II/717), dll, Rasulullah Saw selalu berwasiat terkait penting menjadi penderma. Beliau mengatakan:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Artinya: “Tangan di atas lebih utama ketimbang tangan di bawah.”
Menurut Malik bin Anas (Muwaththa’: V/1453), yang dimaksud al-yad al-‘ulya (tangan di atas) adalah al-munfiqah (penderma), sedangkan yang dimaksud al-yad al-sufla (tangan di bawah) adalah al-sailah (peminta-minta). Penderma, berapapun derma yang diberikan, itu jauh lebih mulia ketimbang peminta-minta. Herannya, di zaman ini kebiasaan meminta-meminta dengan berbagai ragam gayanya justru menjadi “profesi” yang dinilai menguntungkan.
Terkait kemuliaan para penderma ini, karenanya, dalam Hadis riwayat Imam al-Humaidi (Musnad al-Humaidi: I/515), Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad bin Hanbal: VIII/520) dan Imam Ibn Hibban (Shahih Ibn Hibban: I/332), Rasulullah Saw bersabda:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَيْن: رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بَهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
Artinya: ”Tidak ada keirian kecuali pada dua orang: orang yang dianugerahi kemampuan membaca (menghafal/memahami) Alquran oleh Allah dan ia selalu membacanya siang dan malam; dan orang yang dikaruniai harta kekayaan oleh Allah, lalu dia menginfakkannya siang dan malam.”
Berdasarkan Hadis ini, hanya pada dua orang kita boleh iri padanya; yakni ahli al-Quran dan ahli sedekah. Merekalah orang-orang yang dipandang baik dan mulia oleh manusia sekaligus oleh Allah Swt, karena kesalehan mereka yang dirasakan secara sosial. Dan karena utamanya berderma ini dalam konteks sosial, maka Islam menganjurkannya dengan sangat. Terkait hal ini, Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah: I/339) dan Jalal al-Din al-Suyuti (al-Asybah wa al-Nadhair: I/144) menukil kaidah fikih yang penting:
الْمُتَعَدِّي أَفْضَلُ مِنْ الْقَاصِرِ
Artinya: ”Perbuatan yang manfaatnya dirasakan orang banyak lebih utama ketimbang perbuatan yang manfaatnya dirasakan pelakunya.”[]
Penulis adalah Guru Al-Quran Hadis MTs Qothrotul Falah Lebak Banten