Qothrotul Falah Selenggarakan Halaqah Fikih Peradaban
Bekerja sama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dan Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten menyelenggarakan Halaqah Fikih Peradaban.
Bertema “Ijtihad Ulama Nahdhatul Ulama dalam Bidang Sosial Politik”, kegiatan ini mengadirkan Dr. Hj. Alai Najib, M.A. (Sekretaris LBM PBNU Jakarta) dan KH. Hamdan Suhaimi, S.Fil. (Ketua PW Rijaul Ansor Banten).
Kegiatan yang diselenggarakan di GOR Qothrotul Falah ini dihadiri oleh banyak kiai dari berbagai lembaga: MUI Lebak, PCNU Lebak, MWCNU Cikulur, Kampus, Aktivis, dan sebagainya.
Adapun rumusan yang dihasilkan, adalah:
1) Zaman sekarang ijtihad tidak lagi dilakukan oleh perorangan, namun kolektif. Lebih-lebih menyangkut persoalan sosial-politik, maka sudah semestinya NU melakukan ijtihad kolektif yang melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin keilmuan, dengan tujuan utama untuk meraih kemaslahatan atau kesejahteraan bersama.
2) Hendaknya ijtihad di bidang sosial-politik yang dilakukan oleh NU tidak bersifat reaktif atau responsive yang hanya terkait isu hangat yang tengah berkembang, melainkan ijtihad yang dilakukan dengan kematangan referensi dan argumen semata untuk tujuan kemaslahatan.
3) Agama dan negara adalah dua saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Karena itu, NU sudah semestinya masuk dalam ranah sosial politik, karena ini menjadi bagian dari agama. Namun tentu, bukan ranah politik praktis yang dikedepankan, melainkan ranah sosio-kebangsaan.
4) Nusantara atau Indonesia adalah “Negara Islami” dalam pengertian yang substantif, yakni bahwa kebijakan dan cara berbangsa yang dijalankan oleh negara ini sesuai dengan nilai-niai dan semangat Islam. Inilah ciri dasar Islam yang substantif, bukan Islam yang formalis.
5) Ijitihad NU di bidang sosial-politik hendaknya selalu bertujuan dan dalam rangka menjaga kondusifitas yang berakar dari tradisi keilmuan salaf yang kuat dan mengakar.
6) Hukum positif yang berlaku di negeri ini haruslah diikuti, karena ia sifatnya mengikat, walaupun tidak ada nash langsung dari Syariat. Ketaatan pada negara juga mengharuskan ketaatan pada produk yang dihasilkan, termasuk produk hukumnya.
7) Kata “kafir” yang biasanya dialamatkan untuk mereka yang berbeda, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya dihapuskan dan disamaratakan dengan sebutan “warga negara” atau “warga bangsa”, karena di mata hukum, semua warga negara itu sama tanpa memandang perbedaan latar belakang apapun, termasuk agama.
8) PBNU harus terus aktif berkiprah di bidang sosial politik, terutama politik kebangsaan yang memayungi berbagai kepentingan, sehingga arah berbangsa dan bernegara senantiasa berorientasi untuk kemaslahan umat.
9) PBNU hendaknya memperbanyak penerjemahan buku-buku klasik tentang tema-tema berbangsa dan bernegara, sehingga warga NU semakin kuat memiliki akar tradisi intelektualnya.
10) Generasi muda atau kader-kader NU hendaknya mengisi ruang-ruang politik, supaya ruang-ruang itu tidak diisi oleh orang-orang yang sekuler, materialistik, dll, sehingga tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak rusak dan menyengsarakan.
11) PBNU tetap netral dan tidak mengarahkan jamaahnya untuk condong ke salah satu capres atau cawapres, sehingga PBNU mampu mengemban misi mengayomi semua pihak dan ada di seluruh pihak dan semestinya PBNU terus menyuarakan politik yang bersih dan beretika.