Oleh Nurul H. Maarif*)
Ramadan memang bulan istimewa. Ia disebut sayyid al-syuhur (tuan para bulan). Banyak keutamaan dihamburkan di sana. Rahmah, berkah, juga maghfirah, dihamparkan luas oleh Allah Swt. Kaum muslim pun berlomba-lomba meraih keutamaannya. Momen lembur beribadah menjadi gempita. Masjid dan mushalla, tampak penuh sesak. Aneka kegiatan keagamaan diselenggarakan. Shalat sunnah, termasuk tarawih, diantara yang menjadi ibadah favorit di bulan Ramadan. Banyak peminatnya.
Semangat tarawih, berapapun jumlah atau bilangan rakaatnya, itu dimotivasi oleh Hadis Rasulullah Saw yang antara lain diriwayatkan Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari: I/16) dan Imam Muslim (Shahih Muslim: I/523) dari Abu Hurairah. Beliau bersabda: “Siapa shalat malam pada malam Ramadan karena iman dan mengharap ridha Allah, maka dosa-dosa yang telah lalu diampuni.” Tak heran, shaf atau baris jamaah shalat tarawih acapkali di luar ekspektasi. Membludak hingga keluar masjid atau mushalla.
Sayangnya, ya sayangnya, di banyak tempat, fenomena tarawih ini hanya berlangsung beberapa hari di awal Ramadan. Biasanya hanya bertahan hingga pertengahan awal Ramadan. Di pertengahan kedua, seringkali jumlah jamaah berkurang drastis, sehingga shaf atau baris yang awalnya penuh sesak menjadi kosong melompong. Barisan kian maju, bukan maju yang positif, melainkan maju yang negative; barisan hanya tersisi di bagian depan.
Ibarat nyaris sampai di garis finis dan kita dalam posisi berlomba, semestinya lari kita dipercepat dan dikencangkan. Apalagi di akhir-akhir Ramadan, tepatnya 10 hari terakhir, Allah Swt menghambur-hamburkan reward yang istimewa, termasuk Malam Kadar yang diklaim lebih baik dari seribu bulan (Qs. al-Qadr: 3). Dalam riwayat Imam Muslim dari ‘Aisyah, dikatakan bahwa Rasulullah Saw sangat giat beribadah di bulan Ramadan melebihi ibadahnya di bulan-bulan yang lain. Dan pada sepuluh malam terakhir, beliau lebih giat lagi melebihi hari-hari lainnya.
Di sepuluh hari terakhir itu, Rasulullah Saw, sosok yang terjaga dari dosa dan telah diampuni dosanya lagi dijamin surga, betul-betul memanfatkannya untuk lembur ibadah. Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari: III/47) meriwayatkan dari Aisyah, di malam-malam itu, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan sanak keluarganya. Semua diajak beribadah untuk menyambut karunia terbaik Allah di penghujung Ramadan. Dan itu menjadi sunnah yang semestinya diikuti.
Imam Sufyan al-Tsauri mengatakan; “Aku senang memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malamnya.” Beliau juga mengajak sanak saudaranya menjalani ibadah sesuai kadar kemampuannya. Imam-imam atau para salaf al-shalih lainnya juga benar-benar memanfaatkan waktu-waktu jelang perpisahan dengan Ramadan, kekasih yang dinanti dan hendak pergi itu.
Karena itu, kita semua, manusia yang dha’if penuh dosa dan tiada jaminan surga ini, sudah semestinya lebih giat mencari peruntungan di ujung Ramadan. Masjid atau mushalla yang kosong karena kita tinggalkan, kita saat diisi kembali dengan semangat perjuangan yang lebih membara. Semangat yang dipicu oleh kekhawatiran kalau-kalau kita tidak akan berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun-tahun yang akan datang.
Setidaknya, kita berupaya mengembalikan suasana jelang akhir Ramadan ini seperti suasana euphoria menyambut kedetangannya. Memperbanyak ibadah menjadi sunnah yang selaiknya dijalani. Kualitas dan kuantitas shalat sunnah malam diperbaiki lagi. Bacaan al-Qur’an juga ditambah lagi kapasitasnya. Sedekah pun diperbanyak. Insya Allah, kita berpisah dengan Ramadan penuh kegembiraan dan optimis menjadi orang-orang yang bertakwa. Tinggal bagaimana kita menjaga level kebaikan ini pada hari-hari lain di luar Ramasan.[]
*) Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak dan Penerima Apresiasi Pendidikan Madrasah Kemenag Banten 2017 Kategori Guru Madrasah Produktif
(HU Radar Banten, Rabu, 6 Juni 2018)