Oleh Nurul H. Maarif*)
Suatu ketika, seorang kiai kharismatik nan alim di Banten bertutur pada penulis: “Sehari, makan itu cukup dua kali. Sekali sebelum Shubuh dan sekali setelah Maghrib. Itupun seperlunya. Tidak berlebihan.” Setelah direnungkan dengan seksama, yang dimaksudnya tak lain adalah anjuran untuk banyak berpuasa.
Katanya, jika dalam pikiran yang ada hanya makanan, kita tak beda dengan binatang. Sebab kemampuan menahan diri dari nafsu syahwati makan itulah yang menjadikan manusia beriman benar-benar berbeda dari binatang dan mengantarkannya menjadi insan bertakwa (Qs. al-Baqarah [2]: 183).
Dalam banyak keterangan, perut yang terisi makanan secara berlebihan, itu memiliki dampak buruk bagi kesehatan lahir maupun kesehatan batin. Konon sumber segala penyakit fisik itu perut. Kolesterol, diabetes, dan banyak lagi, berawal dari perut yang terisi makanan secara berlebihan. Dan ternyata, segala penyakit batin juga bersumber dari perut yang penuh. Tak heran, jika santri-santri pesantren diajarkan menyedikitkan makan dan memperbanyak puasa.
Ahmad Farid, dalam Tazkiyah al-Nufus (h. 40-41) menuliskan, sedikit makan akan mengakibatkan lembut hati, pemahaman yang kuat, nafsu syahwati akan pecah berkeping-keping, keinginan pada kesenangan dunia menjadi lemah dan emosi kian terkendali. Dan menurutnya, makanan yang berlebih (fudhul al-tha’am) mengakibatkan hal-hal sebaliknya.
Secara batin, kelebihan makan juga mendorong anggota badan lebih cenderung pada kemaksiatan, berat menjalani ketaatan dan ibadah. Kemaksiatan, katanya, banyak terdorong akibat kekenyangan. Setan pun lebih mudah dan leluasa menggoda manusia, saat perutnya terisi penuh. Karena itu, bijak bestari mengingatkan: “Persempitlan tempat mengalirnya setan melalui puasa.” Setan laksana terbelenggu karena puasa ini.
Itu sebabnya, dalam kondisi berpuasa misalnya, terutama puasa Ramadan, secara tiba-tiba kita semua gemar mengaji al-Qur’an, mendaras buku-buku bacaan, bertutur lembut, emosi tidak meledak-ledak, gemar bersedekah, atau pembawaan tenang. Dikatakan: “Kalian jangan kebanyakan makan, karena menyebabkan banyak minum, lalu banyak tidur, dan berdampak banyak kerugian!” Kerugian lahir dan batin.
Rasulullah Saw dan para shahabatnya, senantiasa mencontohkan perilaku “lebih sering lapar” ketimbang “lebih sering kenyang”. Bukan karena tidak ada makanan, melainkan itulah cara yang dipilih untuk memudahkan penunaian ketaatan pada Allah Swt. Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Aisyah, diceritakan, sejak tiba di Madinah, Rasulullah Saw tidak pernah kenyang makan roti selama tiga hari berturut-turut, hingga wafatnya.
Ahmad dan al-Tirmidzi meriwayatkan Hadis dari Miqdam bin Ma’diyakrib (Makdikariba), Rasulullah Saw menganjurkan pada umatnya untuk membagi perutnya secara proporsional: 1/3 untuk makan, 1/3 untuk minum dan 1/3 untuk nafas. Dengan pembagian yang proporsional ini, kesehatan lahir dan batin akan terpenuhi dengan baik.
Seorang sufi besar Ibrahim bin Adham juga menuturkan: “Siapa mengendalikan perutnya, maka dia mengendalikan agamanya. Siapa menguasai laparnya, dia menguasai akhlak yang saleh. Sebab kemaksiatan jauh dari orang yang lapar dan dekat dengan orang yang kenyang.”
Dan puasa Ramadan adalah sarana terbaik bagi kesehatan lahir sekaligus kesehatan batin. Semoga kita semua menjadi orang-orang yang benar-benar bertakwa.[]
*) Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak dan Penerima Apresiasi Pendidikan Madrasah Kemenag Banten 2017 Kategori Guru Madrasah Produktif