PERTANYAAN:
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Semoga Abi dan keluarga besar Pondok Pesantren Qothrotul Falah senantiasa sehat dan lancar menjalankan kegiatan sehari-hari sebagaimana mestinya. Amin!
Abi yang saya banggakan, yang semoga senantiasa dilindungi Allah SWT. Saya Munawaroh, alumni Pondok Pesantren Qothrotul Falah Tahun 2012. Abi, saya ingin bertanya; bagaimana hukumnya jika kita berpindah mazhab fikih dalam kondisi tertentu? Misalnya dari Mazhab Syafii, pindah ke Mazhab Maliki, dan seterusnya, terutama dalam situasi sulit seumpama menjaga batalnya wudhu dari persentuhan kulit laki-laki dan perempuan saat berhaji.
Itu saja pertanyaan saya, Abi. Terima kasih banyak atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
PENANYA
Munawaroh
Mahasiswa dan Guru, Lebak Banten
JAWABAN
Wa’alaikumussalam, Wr. Wb.
Anakku Munawaroh yang Abi banggakan. al-Hamdulillah, Abi dan keluarga besar Pondok Pesantren Qothrotul Falah senantiasa diberi-Nya kesehatan dan kemudahan menjalankan kegiatan sehari-hari. Abi berdoa, semoga Anakku Munawaroh juga senantiasa sehat, kuliah dan kegiatan lainnya lancar. Amin!
Anakku Munawaroh yang dirahmati Allah SWT. Terima kasih banyak atas pertanyaannya. Insya Allah Abi akan menjawabnya sesuai kemampuan Abi. Mudah-mudahan jawaban Abi bermanfaat dan bisa dimengerti.
Apa yang Anakku Munawaroh sampaikan di atas memang benar. Dalam kondisi tertentu, terkadang kita kesulitan perpegang secara kaku pada satu mazhab fikih saja. Contoh paling mudah ketika kita menunaikan ibadah haji. Di sana, kita berbaur dengan beragam orang, baik jenis kelamin maupun latar belakangnya. Karena jumlahnya jutaan, terkadang tanpa sengaja kita bersenggolan atau bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram.
Jika kita pengikut Imam al-Syafii atau ber-Mazhab Syafi’i, maka sentuhan kulit itu membatalkan wudhu berdasarkan Qs. al-Ma’idah: 6 (atau menyentuh perempuan). Jika terjadi persentuhan, wudhunya batal dan harus diulang lagi. Jika kita berada di tengah jutaan orang, apalagi jika tempat wudhunya jauh, maka apakah ini tidak menyulitkan kita mengulang wudhu karena harus menerobos begitu banyak manusia?
Atas dasar kesulitan dan kondisi yang khusus ini, lantas ada yang bertanya: bagaimana kalau kita beralih ke fikih Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) yang menyatakan secara mutlak persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu? Atau kita mengikut sementara fikih Malik bin Anas (Mazhab Maliki) dan Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali) yang menyatakan persentuhan kulit itu tidak membatalkan wudhu asalkan tidak dilandasi syahwat? Harapannya, rukun-rukun haji tetap tertunaikan dengan sempurna, dan kita tidak mengalami situasi sulit (masyaqqah).
Anakku Munawaroh yang dirahmati Allah SWT. Dalam bahasa fikih, berpindah fikih dari Mazhab Syafii ke Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, atau Mazhab Hanbali dalam kondisi tertentu, itu disebut talfiq. Secara lebih luas, talfiq yaitu seseorang beramal dengan memilih pendapat imam mazhab yang paling mudah dilaksanakan, tanpa mengetahui dalil/alasan yang digunakan imam itu. (Fiqh dan Ushul Fiqh, h. 247).
Boleh apa tidak kita berpindah fikih seperti itu? Ada beberapa pandangan di sini. Pertama, boleh berpindah mazhab secara mutlak. Alasannya, tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengikuti mazhab fikih tertentu. Karena keterbatasan pengetahuan kita, yang terpenting kita mengikuti mazhab fikih yang kita nilai terbaik, apapun mazhabnya: baik Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i atau Mazhab Hanbali.
Insya Allah mereka adalah imam-imam yang mendapat petunjuk kebenaran, sehingga kepada siapapun kita mengikuti, kitapun akan turut mendapat petunjuk kebenaran itu. Diriwayatkan, bahkan Imam Malik bin Anas menyatakan: “Jika pendapatku benar, ikutilah apa yang aku ikuti.” Kita tidak diperintahkan mengikuti Imam Malik, melainkan mengikuti apa yang beliau ikuti, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Dan semua imam jelas mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, yang karenanya kepada siapapun kita mengikut, sama halnya kita mengikuti al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua, tidak boleh berpindah mazhab secara mutlak. Ternyata ada juga yang berpendapat demikian. Alasannya, jika kita berpindah-pindah mazhab, itu sama halnya kita tidak konsisten dalam beragama dan kita dianggap mempermainkan agama atau plin-plan dalam berfikih. Karena itu, menurut mereka ini, dalam kondisi sesulit dan sepayah apapun, kita tetap harus konsisten menggunakan mazhab fikih yang kita ikuti. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjaga konsistensi ini.
Ketiga, boleh berpindah mazhab dengan ketentuan-ketentuan khusus. Misalnya, kondisi yang kita alami benar-benar sulit, sehingga dibenarkan beramal menggunakan mazhab lain. Misalnya lagi, jika ingin berpindah mazhab, maka dari awal sudah diniatkan mengikuti ketentuan mazhab yang akan kita ikuti. Tentang batalnya wudhu karena persentuhan kulit umpamanya. Jika kita ingin menggunakan Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki atau Mazhab Hanbali, maka kita harus mengikutinya secara total. Sebagai konsistensi, maka sejak niat sampai praktik wudhunya, juga harus mengikuti aturan mereka. Ini satu paket. Tidak dibenarkan, wudhunya menggunakan Mazhab Syafii, namun ketentuan batalnya mengikuti selainnya.
Anakku Munawaroh yang dimuliakan Allah SWT. Abi sendiri berpandangan, berpindah mazhab fikih itu diperbolehkan dalam kondisi khusus dan dengan ketentuan yang juga khusus. Tujuannya untuk memudahkan umat Islam, karena inilah karakter ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW diutus juga untuk mempermudah dan bukan mempersulit umatnya.
Dalam kaidah Ushul Fikih, sebagaimana tertulis dalam Kitab Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqh wa al-Qawaid al-Fiqhiyyah (h. 30) karya Abdul Hamid Hakim, di bagian Kaidah Ke-11, dikatakan: al-masyaqqah tajlib al-taysir (kesulitan itu menghadirkan kemudahan). Di mana ada situasi sulit, di situlah kemudahan muncul sebagai jalan keluarnya. Di halaman yang sama kitab ini, juga disebutkan bahwa Imam al-Syafi’i menyatakan: al-amr idza dhaqa ittasa’ (persoalan, jika sempit maka menjadi luas [ketentuannya]).
Dengan demikian, keluasan Islam ini akan memudahkan umatnya untuk mencari alternatif kemudahan lain yang masih dalam ketentuan Islam, sesuai al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang seharusnya kita kedepankan. Itu sebabnya, untuk kemudahan ini, insya Allah berpindah mazhab diperbolehkan dan dibenarkan.
Anakku Munawaroh yang diberkahi Allah SWT. Itu saja penjelasan Abi. Semoga bisa dipahami dan bermanfaat. Wa Allah a’lam.[]
Lebak, 3 November 2012