Oleh Nurul H. Maarif*)
Alkisah, ada seorang anak yang memiliki perilaku amat buruk. Kualitas dan kuantitas perilaku buruknya, sudah melampaui batas. Perilakunya memunculkan keprihatinan mendalam pada diri sang ayah, seorang saleh yang perilakunya mulia.
Untuk mencegah perilaku buruk puteranya, sang ayah telah melakukan berbagai upaya. Semua sia-sia belaka. Hari demi hari, perilaku buruknya kian menjadi-jadi. Ia pun membuat sang ayah kian sedih hati.
Di tengah kesedihan itu, sang ayah laksana mendapat ilham. Tiba-tiba, terbersit ide cemerlang membikin (semacam) kontrak sosial dengan puteranya. Setiap puteranya melakukan keburukan, sang ayah akan menancapkan paku di dinding rumahnya. Sebaliknya, kala ia mengerjakan kebajikan, sang ayah akan mencabutnya.
Ini sejalan dengan inspirasi Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi: III/433), Imam Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad bin Hanbal: XXXV/284) dan Imam al-Darimi (Sunan al-Darimi: III/1387) dari Abu Dzarr al-Ghiffari, Rasulullah Saw bersabda: ”… iringilah keburukan dengan kebaikan, karena kebaikan akan menghapus keburukan…”
Kesepakatanpun ditetapkan. Sejak saat itu, sang ayah terus mengontrol perilaku puteranya, baik perilaku buruk maupun baik. Hari demi hari berlalu, perbuatan buruknya malah kian meningkat, bukannya menurun. Perbuatan baiknya tak kunjung hadir. Paku-paku yang mencerminkan perilaku buruknya bertambah banyak menghiasi dinding.
Karena terus bertambahnya perilaku buruk sang putera, dinding yang menjadi “lembaran perjanjian” itu penuh sesak oleh paku. Itu berarti, ia hanya melakukan keburukan, bukan kebaikan. Sang ayah tentu saja kian sedih. Keinginan untuk melihat puteranya berubah tak kunjung menuai hasil. Hanya kesabaran dan keyakinan pada takdir-Nya, yang menjadikannya tenang.
Atas takdir Allah SWT, melihat dinding rumah yang kian hari kian penuh sesak dengan “paku simbol dosa” itu, sang putera mulai menyesali perilaku buruknya. Ia berjanji dalam hati, untuk berinsaf, selagi masih ada waktu. Hari-hari berikutnya, ia berupaya melakukan kebajikan, demi mencabut paku-paku itu satu-persatu. Paku-paku itu terus terkurangi. Puncaknya, paku yang menancap di dinding tinggal sebatang. Sang ayah bangga dan haru melihatnya.
“Anakku! Kini paku yang tertancap di dinding tinggal sebatang. Selangkah lagi, kemenangan akan engkau gapai,” ujarnya.
Ternyata, sang putera bukannya bangga menatap ambang kemenangan itu. Dia malah menangis sejadi-jadinya. Sang ayah pun kaget dan bertanya-tanya: “Apa yang membuatmu menangis?”
“Ayah, paku-paku itu memang bisa dicabut. Tapi bekas-bekas tancapan paku itu tak mungkin terhapus. Itu yang membuatku sedih dan menyesal,” ujarnya.
Ternyata, kendati perbuatan buruk itu bisa termaafkan, bekas-bekasnya tak akan sirna begitu saja. Bekasnya bisa saja masih menempel dalam hati dan mengotori kesuciannya. Dan, tak seorangpun yang terbebas dari noda dosa ini. Karenanya, Ramadan adalah momen terbaik untuk menghapus noda dosa (ran) yang memadamkan cahaya hati (Qs. al-Muthaffifin: 14) itu. Jangan lewatkan momen bulan penuh ampunan ini untuk bersih-bersih kotoran hati!
Bersih-bersih itu bisa dilakukan dengan minta ampunan, bertaubat (HR. al-Tirmidzi), juga melakukan amaliah yang baik (HR al-Tirmidzi, Ahmad dan al-Darimi). Semoga kita termasuk golongan yang mendapat ampunan-Nya dan meraih keberuntungan, baik di dunia maupuan akhirat, sehingga kita berpisah dengan Ramadan dalam kondisi hati yang bersih.[]
*) Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak dan Penerima Apresiasi Pendidikan Madrasah Kemenag Banten 2017 Kategori Guru Madrasah Produktif.
(HU Radar Banten, Jum’at, 25 Mei 2018)