Oleh Nurul H. Maarif*)
“Allah Swt itu Mahaindah. Ia mencintai keindahan,” ujar Rasulullah Saw, dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud. Untuk memahami betapa indahnya Allah Swt, kita tak perlu repot-repot memikirkan Dzat-Nya, tapi cukup (hanya) dengan merenungkan ciptaan-Nya yang terhampar di alam raya. Bagi akal dan hati yang mengetahui, tanda-tanda keindahan-Nya begitu nyata.
Tak heran, jika Rasulullah Saw bersabda: “Pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan memikirkan Dzat-Nya.” (HR Abu Nua’im dan al-Baihaqi). Selain berlebihan, akal pikiran manusia yang cekak dan seringkali congkak itu tak akan mampu mengurai dan mengungkap kesejatian Dzat Allah Swt. Tidak ada ujung pangkalnya. Untuk itu, cukup pikirkan saja ayat-ayat kauniah (alam raya), bukan Dzat-Nya.
Ciptaan Allah Swt semuanya indah. Baik yang tak bernyawa, lebih-lebih yang bernyawa. Lautan dengan dinamikanya, pegunungan dengan simpanan isi perutnya, pepohonan dengan berbagai variannya, hewan-hewan (yang di laut, di udara, atau di daratan), udara, dan sebagainya, semuanya begitu indah. Dan yang terindah tentu saja manusia, sebagai karya Allah Swt yang “terbaik” dan “teragung”. Sungguh menakjubkan jika semua direnungi serius penuh keimanan, karena di dalam unsur ciptaan terdapat “kode-kode genetika’ yang telah ditiupkan “perintah” Allah Swt, seperti dijelaskan Agus Mustofa dalam Heboh Spare Pate Manusia (Padma: 2009).
Unsur air itu menakjubkan. Gerakannya begitu indah. Aneka pepohonan, juga menakjubkan. Pertumbuhannya menandakan keagungan. Buah-buahannya mengisyaratkan kebesaran. Keragaman hewan, dengan keindahan warna, kebersahajaan bentuknya, keunikan gerakannya, proses perkembang biakannya, semua menakjubkan. Tak mungkin semua ini ada dengan sendirinya. Bukan ada dengan cuma-cuma. Semua untuk direnungkan. Untuk menemukan siapa creator di balik semuanya. “Wa fi kulli syai’ lahu ayah tadullu ‘ala annahu wahid/Dan pada setiap sesuatu (yang bergerak dan yang diam) ada tanda-tanda yang menunjukkan keesaan Tuhan,” tulis Zain al-‘Abidin al-‘Alawi al-Husaini, dalam al-Ajwibah al-Ghaliyah fi ‘Aqidah al-Firqah al-Najiyah. Itulah pelajaran sejati, yang mestinya kita tangkap.
Satu dari sekian banyak ciptaan Allah Swt yang acap menggetarkan hati penulis adalah ikan. Faktanya banyak jenis ikan yang sungguh unik dan menawan, termasuk ikan koi, asli Jepang, yang digemari banyak kalangan dari berbagai latar belakang. Warnanya begitu indah dan khas, sesuai jenisnya yang beragam; Kohaku, Showa, Tancho, Shiro, G(K)oromo, Sanke, Sushui, Nishika, Utsuri, Kujaku, Kumonryu, Ogon, Kikusui, Kigoi, Karasugoi, Chagoi, Asagi, dll.
Masing-masing penghobi, termasuk penulis, menyukai koi jenis tertentu. Alasannya tentu sangat subyektif; good looking! Bahkan saking jatuh hatinya, uang jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta rela dikeluarkan dengan enteng. Juga, waktu dan tenaga dihabiskan tanpa banyak pertimbangan. Kebahagiaan menjadi alasannya. Inilah hobi, yang seringkali menabrak logika dan nalar kewarasan. Tapi uniknya, semua penghobi memaklumi “ketidaknormalan” ini dan enjoy menjalaninya.
Apa yang membuat keindahan itu begitu mahal nilainya? Apakah murni karena warnanya yang unik, yang alamiah tanpa cat atau pewarna kimia, atau ada hal lain yang justru acapkali terabaikan?
Jika kita merenungi lebih jauh, sesungguhnya bukan soal warna itu yang nilainya mahal, melainkan “warna yang diberi nyawa”. Buktinya, jika koi yang warnanya indah itu tanpa nyawa, maka langsung saja tak ada nilainya. Tak ada lagi yang sudi memeliharanya. Bahkan penghobinya bisa meratapi. Padahal warnanya tak hilang sedikitpun. Utuh! Berarti, nyawa itulah sejatinya yang mahal. Tidak ada yang menjualnya. Tak bisa diganti dengan nyawa baru, berapapun uang yang disiapkan untuk membelinya.
Itulah hakikat perenungan mendalam atas ciptaan Allah Swt. Setiap yang bernyawa niscaya mati (Qs. Ali ‘Imran: 185). Dan ketika mati, semua keindahan itu juga mati. Penghobinya lalu bersedih, padahal hanya Allah yang mampu menghidupkan dan mematikan. Keyakinan atas siapa di balik yang mematikan dan menghidupkan, itu akan menenteramkan. Inilah takdir! Inilah nilai kepasrahan atas kehendak-Nya. Dengan memahami semua ini, penghobi tidak akan pernah mengalami kepanikan atau stress karena apapun.
Belum lagi soal pengaturan air, sebagai habibat atau rumah koi. Air itu sumber kehidupan koi. Menjaga air berarti menjaga kehidupannya. Karenanya, membuat kolam koi tidak boleh asal-asalan. Ada aturan-aturan yang mesti terpenuhi untuk kesehatan koi. Air rusak, ikan rusak. Air bagus, ikan juga bagus. Air yang sehat akan menghadirkan kegembiraan dan kebahagiaan penghuninya. Ini tugas wajib penghobi dan sekaligus ibadah berupa kepedulian pada makhluk yang bernyawa. Anjing yang najis, kehausan, lalu dipedulikan dengan diberi air, itu saja ibadah, apalagi mengurus ikan-ikan dengan kesungguhan.
Kolam koi juga mengharuskan filtrasi; penyaring atau pembersih air. Dengan kejernihan air, keindahan warnanya akan nampak begitu nyata. Seindah apapun warnanya, jika airnya keruh apalagi kotor, maka warnanya tidak akan bermanfaat bagi siapapun. Tidak akan menghadirkan kegembiraan. Bahkan menurut penghobi koi, konsultan kolam sekaligus Pengelola Pondok Pesantren Darul Falah Ciloang Serang, KH. Mahrus Djawahir, filtrasi kolam koi mengandung makna filofofis mendalam. “Memelihara air kolam itu berkaitan dengan kehidupan. Sistem filterasi memberikan pelajaran proses menjernihkan hati,” katanya dalam pesan singkat yang penulis terima.
Jujur saja, penulis belum pernah berjumpa dengannya. Namun al-hamdulillah, pesan singkat dari Kiai Mahrus (penulis kenal dari grup penghobi koi) begitu mengena dan patut menjadi bahan renungan serius. Filtrasi hati dari kotoran-kotoran dosa (ron) itu sangat penting, sehingga hati menjadi jernih. Jika hati jernih, maka akan memantulkan cahaya Allah Swt, sehingga keindahan akhlak akan muncul dan menampak nyata dalam kesehariannya. Dampaknya akan menjadi kegembiraan bagi semuanya.
Untuk itu, semestinya penghobi apapun, termasuk penghobi koi, tidak serta-merta menikmati koi hanya dari aspek fisik atau materialnya, melainkan (semestinya) menikmati keindahan di balik hobi ini. Dan juga (semestinya) hobi ini kian meningkatkan kadar kedekatan kita dengan Yang Maha Pencipta. Yuk, kian mencintai Allah Swt dengan mencintai ciptaan-Nya! Wa Allah a’lam.[]
*) Penulis adalah Penghoby Koi dan Pengelola Ponpes Qothrotul Falah Cikulur Lebak Banten
(www.fajarnews.com, 5 Februari 2021)