Islam Cinta, Bukan Islam Cerca

BAGIKAN:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Cahyati*)

Judul        : Islam Mengasihi, Bukan Membenci
Penulis        : Nurul H. Ma’arif
Penerbit    : Mizan
Cetakan        : 1, Agustus 2017
Tebal        : 248 halaman
ISBN        : 978-602-441-033-9

Keragaman sengaja diciptakan oleh Allah Swt di muka bumi, termasuk di Indonesia. Negeri Zamrud Katulistiwa ini terdiri dari beragam agama, suku, budaya, dan bahasa, yang menjadikan bangsa ini kian indah. Keragaman yang diciptakan-Nya itu bukan tanpa alasan. Sebab jika ingin, dengan kekuasaan-Nya yang mutlak, Allah Swt sangat mudah menyeragamkan semuanya. Dan itu akan membosankan, karena semua terlihat sama, sehingga tak ada warna kehidupan.

Untuk itu, perbedaan sejatinya rahmat yang begitu besar dan patut disyukuri. Perbedaan bukanlah alasan untuk saling bertengkar dan merasa paling benar. Perbedaan adalah sarana untuk saling mengenal satu sama lain. Itulah yang digambarkan dengan baik oleh buku Islam Mengasihi, Bukan Membenci, karya Nurul H. Maarif, seorang santri sekaligus pengelola pesantren di Lebak Banten.

Buku terbitan Mizan, 2017, ini mengulas keislaman secara teologis maupun historis, yang mencerminkan Islam sesungguhnya, yang menebarkan kasih sayang, mengajarkan kepedulian sosial, dan penghargaan pada perbedaan. Buku ini menjadi counter narasi bagi kelompok kecil pengaku Islam yang mengedepankan kebencian, laknat, teror, dan tindakan ekstrim lainnnya, yang mengancam kemanusiaan.

Dalam karya keempatnya ini, Penulis memberikan pencerahan nilai kasih-sayang Islam melalui beraneka ragam sudut pandang, baik doktrin al-Quran, Hadis, maupun kisah-kisah inspiratif. Diantara yang menarik, adalah teladan kelembutan Nabi Muhammad Saw pada seorang Yahudi yang terus mencacinya, di sudut pasar Madinah. Pada semua orang, Pengesmis ini berkata: “Jangan dekati Muhammad! Dia orang gila, dia pembohong, dia tukang sihir. Siapapun yang mendekatinya, maka akan terpengaruh olehnya”.

Mendapati hardikan dan hinaan itu, Rasulullah tak marah apalagi mendendam. Beliau justru rutin membawakan makanan dan menyuapinya dengan tulus-lembut. Laksana ibu menyuapi anaknya tersayang. Saat beliau wafat, tak ada lagi yang menyuapi si Pengengemis. Suatu ketika, Abu Bakar al-Ashidiq, ingin meneruskan kebiasaan Rasulullah. Rupanya Pengemis itu merasakan perbedaan karakter/cara Rasulullah dan Abu Bakar menyuapi. Iapun marah dan berteriak, sembari berkata bahwa orang yang setiap hari menyuapinya selalu mengunyah makanan itu terlebih dahulu sebelum menyuapinya, sehingga ia tidak repot-repot menelannya.

Abu Bakar menangis tersedu mendengarnya. Ia lalu mengatakan, orang biasa menyuapinya dengan lembut itu telah wafat dan dialah Muhammad Saw yang selalu dicacinya. Pengemis   itupun menangis dan tersentuh dengan kelembutan Bainda. (h. 83). Jika merujuk pada Qs. al-Anbiya: 107: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam,” maka nilai keramahan Rasulullah Saw itu berlaku untuk seluruh alam (manusia dan non-manusia), tidak hanya bagi umat Islam.

Pertanyaannya: bagaimana konteks kerahmatan Islam dalam bingkai NKRI yang memiliki keragaman agama, suku, ras, budaya, dan bahasa ini? Menurut Penulis, kerahmatan Islam ini terdapat dalam tiga sudut. Pertama, Islam menghormati sekaligus menghargai kebebasan beragama atau berkeyakinan, yang nyata ditegaskan dalam doktrin utamanya al-Qu’ran: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Qs. al-Kafirun: 6) atau “tidak ada paksaan dalam beragama” (Qs. al-Baqarah: 256).

Kedua, Islam menghormati sekaligus menghargai keragaman suku bangsa ataupun latar belakang ras. Untuk tujuan saling mengenal atau li ta’arafu (Qs. al-Hujurat: 13), keragaman tak bisa dihindarkan. Kemuliaan seseorang terletak pada nilai ketakwaan bukan latar belakangnya.

Ketiga, Islam menghormati, menghargai sekaligus melestarikan kearifan lokal yang begitu kaya di negeri ini. Islam mengenal al-‘Adah muhakkamah (tradisi lokal itu menjadi acuan norma). Dalam konteks kebhinnekaan, kerahmatan Islam akan menjadi akar mewujudkan persatuan dan keharmonisan bangsa. (h. 162)

Buku ini menyejukkan jiwa pembacanya, karena menyuguhkan doktrin Islam yang genuine, yang menebar kebaikan dan cinta bagi semesta alam, bukan cercaan dan benci; juga mengajarkan kekeluargaan, bukan pertengkaran. Sayang jika buku ini dilewatkan begitu saja.[]

*) Guru Pondok Pesantren Qothrotul Falah Banten dan Mahasiswa UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten

Pondok Pesantren Qothrotul Falah

Alamat:
Jl. Sampay-Cileles Km. 5
Ds. Sumurbandung Kec. Cikulur Kab. Lebak
Provinsi Banten (43256)

Developed by