Oleh Nurul H. Maarif**)
Allah Swt sengaja menciptakan manusia dengan keragaman yang melatarinya, baik keragaman agama (Qs. al-Kafirun: 6), suku bangsa (Qs. al-Hujurat: 13), aktivitas, status dan sebagainya. Dan Allah Swt sama sekali tidak mengukur kemuliaan mereka berdasarkan latar belakangnya itu, melainkan semata ketakwaannya (Qs. al-Hujurat: 13). Komitmen menaati perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya, itulah yang menjadikan manusia punya nilai khusus di hadapan-Nya. Tak peduli apapun latar belakangnya.
Andaikan Allah Swt berkehendak, sangat mudah bagi-Nya menjadikan manusia seluruhnya memiliki iman yang seragam (Qs. Yunus: 99). Andai ingin, Allah Swt juga sangat kuasa menjadikan mereka seluruhnya dalam satu kesatuan yang tunggal (Qs. Hud: 18). Tapi semua itu tak dilakukan-Nya, semata supaya keragaman itu menjadi alasan untuk berkompetisi dalam kebaikan (Qs. al-Baqarah: 148) dan untuk saling mengenal satu dengan yang lain (Qs. al-Hujurat: 13).
Dalam internal umat Islam sendiri, yang sama-sama merujuk al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama ajarannya, keragaman tak bisa dipungkiri dalam berbagai bentuknya. Dari sisi geneologis, jelas, penganut Islam muncul dari berbagai latar belakang keturunan dan warna kulit. Raspun berbeda-beda. Dari sisi ini, manusia tidak bisa menawar apalagi menolak hendak lahir dari keturunan siapa. Karena itu, kearifan dan keadilan Rasulullah Saw menyebabkannya bersabda, tidak ada kelebihan orang Arab dibanding orang ‘ajam, orang berkulit putih dibanding orang berkulit gelap, orang berambut lurus dibanding orang berambut keriting bak gandum. Kelebihan semata karena kebersihan hati dan keindahan amaliahnya.
Dalam konteks teologi atau akidah, umat Islampun menganut cara pandang dan imam yang beragam. Di Indonesia, yang dirujuk umumnya pandangan teologi Abu al-Hasan al-Asyari (Asy’ariyah) atau Abu Manshur al-Maturidi (Maturidiyah). Sebagian mengikut pandangan teologi Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahabi) yang cenderung kaku. Yang lain lagi barangkali mengikuti imam yang lain pula.
Dalam konteks tasawuf, juga muncul banyak keragaman pandangan dan amaliah, termasuk juga yang menolaknya. Muslim Nusantara umumnya menganut lelaku tasawuf akhlaki Imam al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi. Tanpa menutup mata, ada juga yang menganut lelaku teosofi Ibn ‘Araby, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan sebagainya. Melihat perilaku bertasawuf muslim di belahan negara lain, keragaman itu kian mengagumkan.
Dalam konteks amaliah fikih, kaum muslim dunia memiliki referensi yang lebih beragam lagi. Dan muslim Nusantara umumnya memegangi pandangan satu dari empat imam mazhab fikih yang sangat populer: Abu Hanifah (w. 150 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Dalam banyak kasus, keempatnya acapkali berbeda pandangan dan muslim Nusantara umumnya memegangi pandangan al-Syafi’i sebagai pandangan tengah yang berdiri kokoh diantara rasionalitas Abu Hanifah dan tradisionalitas Malik bin Anas.
Sebagai permisalan kecil, terkait batal tidaknya wudhu tersebab sentuhan kulit laki-perempuan non-mahram, muncul aneka pandangan. Abu Hanifah menilai tidak membatalkan wudhu, baik sentuhan itu dilatari syahwat atau tidak. Imam Malik menilai tidak batal bila tanpa syahwat dan batal bila dengan syahwat. al-Syafi’i sebaliknya, baik dengan syahwat maupun tidak, sentuhan itu tetap membatalkan wudhu. Memang dalam internal Mazhab Syafi’i sendiri ada pandangan minoritas yang menyatakan, batal bagi yang menyentuh (aktif) dan tidak bagi yang tersentuh (pasif). Ini sebentuk kehati-hatian yang mengagumkan. Belum lagi soal qunut shubuh dan lainnya, yang juga beragam pandangan.
Herannya, tak jarang, perbedaan-perbedaan yang tidak substansial atau sebatas furu’ (cabang) bukan ushul (pokok), itu justru menghadirkan “permusuhan laten” antar umat Islam sendiri, yang apinya tak mudah dipadamkan. Untuk saling menghargai dan menghormati saja, rasanya begitu sulit. Apalagi untuk disatu-padukan. Masing-masing merasa paling benar. Yang berbeda dengan dirinya lalu dinilai keliru. Padahal masing-masing punya pijakan argumennya.
Yang unik, perbedaan-perbedaan yang kadang naik turun dan sesekali meruncing itu tidak menampak di hadapan Ka’bah. Di musim haji 1439 H ini, dan tentu di setiap musim haji, jutaan kaum muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul bersama dengan guyub untuk menunaikan rukun Islam kelima: haji. Mereka datang dengan membawa berbagai keragaman latar belakang, baik suku, ras, warna kulit, budaya, teologi, fikih, tasawuf, dan sebagainya.
Semua begitu padu di bawah kharisma dan naungan Ka’bah. Tak ada yang menyoal apalagi meributkan perbedaan-perbedaan bawaan itu. Semua tunduk patuh dalam satu ritme ibadah dan berbaur bersama tiada sekat. Semua bersatu-padu dalam kesyahduan yang mengagumkan dengan mengaibaikan ego sektarianismenya.
Mereka yang berbeda-beda itu, menjalani wukuf, mabit, lempar jamrah, thawaf, sai, tahallul, bersama-sama berdesakan dengan indah sebagai saudara yang diikat tali iman (Qs. al-Hujurat: 10). Tak ada yang berisik karena perbedaan. Tak ada yang memenangkan egonya. Ka’bah rupanya sengaja Allah Swt ciptakan sebagai kekuatan pemersatu umat Islam dunia.
Kenapa kebersamaan ini bisa terjadi? Ini semata karena tak ada yang mengedepankan ego sektariannya. Semua merasa kecil dan tak ada nilainya di hadapan Allah Swt Yang Maha Besar. Tak ada yang merasa lebih baik dan lebih mulia. Dan yang terpenting lagi, masing-masing sibuk dan fokus pada ibadahnya sendiri. Semua berlomba memperbanyak dan memperbaiki ibadahnya, sehingga tak lagi peduli pada ibadah orang lain. Konsep lana a’maluna walakum a’malukum (bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian) benar-benar terejawantah dengan baik. Tak ada lagi kesempatan menilai ibadah orang lain. Yang ada hanyalah keseriusan untuk introspeksi diri.
Andaikan saja, ya andaikan saja, semangat atau spirit keberagamaan di hadapan Ka’bah itu bisa dihadirkan ke Tanah Air atau di belahan penjuru dunia lain, perbedaan yang berdampak permusuhan itu tak perlu terjadi. Masing-masing umat beragama haruslah fokus pada amaliah ibadahnya, tak perlu sibuk mengurusi tata cara ibadah orang lain. Memang spirit Ka’bah tidak akan mempersamakan perbedaan, tapi setidaknya bisa mempersatukannya.[]
*) Makkah, 4 September 2018 (dimuat Radar Banten)
**) Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten