Tiada seorang pemimpinpun yang seideal Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sifat shiddiq, amanah, fathanah dan tabligh, yang dimiliki beliau, itu paripurna. Dan karenanya, wajib melekat dalam dirinya. Tanpanya satu saja, beliau akan menjadi pemimpin yang “cacat moral”. Itulah pemimpin terbaik yang dikirim oleh Allah Swt untuk kebaikan umat manusia.
Keparipurnaan sifat beliau, tak lain karena Putera Abdullah-Aminah ini langsung dididik oleh Allah Swt Yang Maha Paripurna; baik melalui Jibril, manusia di sekelilingnya maupun pengalaman hidupnya yang berliku. Lingkungan yang dipilih sebagai tempat tumbuh-kembangnya, juga Allah Swt yang memilihkan.
Pemimpin penerusnya, yang dikenal dengan Khulafa’ al-Rasyidin, adalah pemimpin yang mendapat didikan langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Tak heran, jika level karakter kepemimpinan mereka di bawah beliau. Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khattab, Usman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib, adalah prototype pemimpin yang masih dalam kategori ideal.
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku. Kemudian generasi selanjutnya dan generasi selanjutnya,” kata Kanjeng Nabi Muhammad Saw dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Tak heran, makin menjauh dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw, kualitas kepemimpinan umat makin merosot. Ibarat air, ia begitu jernih di hulunya. Dan akan terus keruh, keruh, bahkan kotor, jika kian mendekati hilirnya. Itu sunnatullah!
Namun, niscaya selalu ada kebaikan di balik kekurangan yang ada. Karena itu, ada hal-hal urgen yang sepatutnya diperhatikan oleh kita dalam memilih pemimpin, baik terkait kita sebagai pemilih maupun terkait orang yang kita pilih. Sebagai pemilih hendaknya kita menata niat yang baik dan tulus, tidak asal pilih tanpa pertimbangan matang, dan bijak menerima apapun hasilnya. Persatuan dan kesatuan harus menjadi orientasi nomor satu.
Terkait orang yang hendak kita pilih, Qs. al-Qashash: 26 (kisah Nabi Musa dan Nabi Syu’aib beserta puterinya) menyebutkan, jika ingin mempekerjakan orang, carilah yang kuat dan terpercaya. Kuat akal/ilmu, prinsip, emosi, mental, juga fisiknya. Dan terpercaya, bisa menjadi tumpuan harapan umat, menunaikan mandat dan tidak mementingkan urusan pribadi, keluarga atau golongan.
Selain itu, mengacu pada arahan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, calon pemimpin hendaknya memiliki beberapa karakter. Pertama, berorientasi sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat. Sabdanya, lelakunya, kebijakannya, semua untuk kebaikan dan kesejahteraan umat. Ini sesuai kaidah yang populer di kalangan santri: “Kebijakan pemimpin atas rakyatnya haruslah didasarkan pada kemaslahatan mereka.” (al-Asybah wa al-Nadhair: h. 83). Karena, inti dari kepemimpinan adalah kesejahteraan umat.
Kedua, senantiasa mendahulukan umat, bukan diri, keluarga atau kelompoknya. Kenyang belakangan setelah umatnya kenyang. Dan lapar duluan, sebelum umatnya kelaparan. Bukan pemimpin yang kenyang di tengah umatnya yang kelaparan! Dikisahkan, ketika Kanjeng Nabi Muhammad Saw hijrah dari Makkah menuju Yatsrib (kemudian disebut Madinah), beliau didampingi Abu Bakar al-Shiddiq, Amr bin Fuhairah (sahaya) dan Abdullah bin Uraiqit al-Laitsi (pemuda musyrik penunjuk jalan).
Di tengah perjalanan, beliau ingin membeli makanan dan minuman. Mampirlah beliau di kemah kepunyaan Ummu Ma’bad al-Khuzaiyyah. Sayangnya, saat itu tiada makanan dan minuman yang tersedia.
“Andaikata ada minuman dan makanan, kalian tak akan kerepotan, karena kalian menjadi tamuku,” ujar Ummu Ma’bad.
Kanjeng Nabi Muhammad Saw tetiba melihat seekor kambing betina di sekitar kemah. “Itu ada kambing, wahai Ummu Ma’bad”, kata beliau.
“Ia tidak dapat bepergian (mencari makanan) bersama rekan-rekannya, karena kelelahan,” timpal Ummu Ma’bad.
“Apakah ada air susunya?” tanya beliau.
“Mana mungkin ada air susunya. Dia sendiri kelaparan,” jawabnya.
“Bolehkah saya memerah susunya?” tanya beliau lagi.
“Silahkan, jika ada air susunya,” jawab sang pemilik kambing.
Beliau memegang susu kambing tiada berair itu seraya berdoa: “Ya Allah, berkahilah Ummu Ma’bad melalui kambingnya.”
Tiba-tiba, kambing yang air susunya kering-kerontang itu memancarkan air susu dengan derasnya. Beliau meminta wadah dan mempersilahkan tiga rekannya untuk minum satu persatu, hingga semuanya segar kembali. Setelah semuanya kebagian, barulah beliau minum paling akhir. Beliau berkata: “Orang yang memberikan minuman kepada kaum, itu dia minum yang paling akhir”. (al-Thabaqat al-Kubra, I/230).
Ketiga, senantiasa melayani umatnya, bukan minta dilayani. Anas bin Malik, pelayan kecilnya, menyatakan justru Kanjeng Nabi Muhammad Saw lebih banyak melayaninya ketimbang ia melayani beliau. Sebagai pelayan, pemimpin semestinya memahami apa kemauan umatnya sebagai “majikan”. Dan sudah semestinya, sebagai pelayan, ia menggembirakan hati majikannya. Ini sesuai sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw: “Pemimpin adalah pelayan rakyatnya”. (Tarikh al-Khulafa’: I/287, Tanzih al-Anbiya’: I/133, Adab al-Shuhbah: I/90).
Itulah beberapa karakter yang patut menjadi pertimbangan dalam memilih pemimpin. Siapa yang paling sesuai atau minimal mendekati karakter-karakter itu?[]
Dr. H. Nurul H. Maarif, M.A.
(Anggota Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Prop. Banten)