Lebak, Banten – Komunitas Generasi Literat mengadakan workshop “Literasi AI untuk Gen Z” di Pondok Pesantren Qothrotul Falah, pada Sabtu, 9 Agustus 2025. Bertempat di GOR Qothrotul Falah, kegiatan ini bertujuan untuk membekali para santri dengan pemahaman kritis dan produktif dalam menghadapi perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI).
Acara ini dihadiri oleh seluruh Kepala SMA Qothrotul Falah, Wakil Kepala Bidang Kesiswaan, santri dan para guru, serta dipimpin langsung oleh Mila Mudzakar, Founder Generasi Literat, bersama lima rekannya.
Workshop ini disambut antusias oleh pihak pesantren. Agus Faiz Awaludin, salah satu guru, menyampaikan apresiasi dalam sambutannya. “Kami sangat senang dengan kehadiran teman-teman dari Generasi Literat. Semoga ini menjadi bekal bagi santri kami untuk menghadapi perkembangan teknologi yang semakin canggih,” ujarnya.
Mila Mudzakar menjelaskan bahwa workshop ini dirancang agar generasi Z tidak hanya menjadi pengguna pasif, melainkan mampu memanfaatkan AI secara bijak dan produktif. Para peserta tampak antusias, bahkan berbagi pengalaman mereka. “Saya sering pakai AI buat cari resep dan tutorial masak dan cari banyak informasi lain,” ujar salah satu santriwati, menunjukkan bagaimana AI telah menjadi alat belajar praktis.
Dalam sesi diskusi, Fajri, siswa kelas XII SMA, menyampaikan pandangan kritisnya. Menurutnya, AI bukan pengganti, melainkan hanya alat bantu manusia. Namun, ia mengingatkan bahwa manusia bisa digantikan oleh AI jika memiliki sifat malas.
“Kalau kita malas, kita akan sepenuhnya bergantung pada AI, dan di situlah kita akan tergantikan,” tegas Fajri, menekankan pentingnya produktivitas manusia di era digital.
Generasi Literat juga memperkenalkan program baru mereka, “Ruang Aman dan Nyaman Generasi Literat,” yang mengajak generasi muda untuk lebih terbuka dan berbagi cerita dengan manusia, bukan lagi menggunakan AI sebagai tempat curhat. Materi workshop juga menyoroti berbagai penyalahgunaan AI, seperti pembuatan gambar palsu, curhat berlebihan, hingga menjalin hubungan layaknya pacaran dengan AI.
Untuk memperkuat pemahaman, para peserta diajak membedakan antara perkataan manusia dan AI. Mereka diberikan dua kalimat: “Aku tidak akan meninggalkanmu apapun yang akan terjadi” dan “Jangan menyerah, kamu gak boleh cengeng.” Banyak pendapat yang disampaikan oleh para siswa dan guru mengenai perbedaan kata dari AI dan manusia.
Nah, jadi menurut kalian mana yang merupakan perkataan manusia dan AI?
Diskusi ini bertujuan mengingatkan bahwa AI tidak memiliki empati, perasaan, atau akal layaknya manusia.
Mila Mudzakar, pendiri Generasi Literat, menegaskan bahwa AI harus dipandang sebagai asisten, bukan pengganti. “Manusia adalah konseptor dan eksekutor utama,” kata Mila. “AI adalah alat yang membantu kita merancang dan melaksanakan ide-ide. Jadi, manusialah yang memegang kendali penuh,” sambungnya.
Mila juga menekankan pentingnya literasi kritis saat menggunakan AI. Meskipun AI bisa diajak berdiskusi tentang berbagai hal, kebenaran dari informasi yang diberikan harus dipertimbangkan kembali.
“Kita perlu mengenal perbedaan AI dan manusia,” sambung Mila. “Manusia memiliki akal, emosi, dan kreativitas yang tidak dimiliki oleh AI. Dengan memahami batasan ini, kita bisa memanfaatkan AI secara maksimal tanpa takut akan bahayanya.”
Mila juga mengajak para peserta untuk bijak, produktif, dan kreatif menggunakan AI, bahkan menjadikannya alat untuk menghasilkan “cuan.” Dengan begitu, generasi muda dapat memaksimalkan potensi teknologi tanpa kehilangan esensi kemanusiaan.
Dan acara ini diharapkan menjadi langkah awal yang penting bagi para santri untuk menjadi generasi yang melek teknologi sekaligus bijaksana.[is]