Akhlak yang baik atau al-akhlak al-mahmudah adalah mutiara dalam diri seseorang. Dengannya, ia layak disebut manusia. Tanpanya, tidak ada yang membuatnya layak disebut manusia. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Muhammad Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi (Adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an: VIII/234), menuliskan syair yang patut menjadi bahan renungan:
إِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ
فَإِنْ هُمُ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
Sesungguhnya kejayaan bangsa terletak pada akhlaknya
Jika telah hilang akhlaknya, maka runtuhlah bangsa itu
Untuk itu, ajaran-ajaran Allah Swt yang diturunkan melalui Rasulullah Saw, memiliki visi besar untuk merevolusi akhlak jahiliah menjadi akhlak islamiyah yang penuh keluhuran dan keagungan, sehingga manusia benar-benar menemukan martabatnya di hadapan Allah Swt dan di tengah aneka makhluk-Nya yang menghuni alam ini. Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad bin Hanbal: II/381) meriwayatkan Hadis dari jalur Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صاَلِحَ الْأَخْلاَقِ
Artinya: “Aku diutus untuk menyempurnakan kesalehan akhlak.” (HR Ahmad bin Hanbal).
Redaksi yang sedikit berbeda diriwayatkan oleh Imam al-Hakim (Mustadrak ‘ala al-Shahihain: II/670) dan Muhammad bin Salamah al-Qudhai (Musnad al-Shihab: II/192). Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ الْأَخْلاَقِ
Artinya: “Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR al-Hakim dan al-Qudhai).
Berdasarkan dua redaksi Hadis di atas, maka benang merahnya adalah tentang misi pengutusan (bi’tsah) Rasulullah Saw ke muka bumi untuk menyempurnakan “kesalehan akhlak” atau “kemuliaan akhlak”. Dari kebiadaban menuju keberadaban. Dari kejahiliaan menuju keilmuan. Dari kegelapan menuju cahaya. Dan itu dilakukan melalui berbagai proses internalisasi ajaran Islam pada umatnya, baik ajaran yang terdapat dalam Alquran maupun Hadis Nabi.
Dan akhlak terpuji inilah yang menjadi unsur pemberat timbangan amal manusia di hadapan Allah Swt, di hari perhitungan. Diriwayatkan dari Abu Darda’ oleh Abu Dawud (Sunan Abi Dawud: II/668), Rasulullah Saw bersabda:
ماَ مِنْ شَىْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
Artinya: “Di timbangan akhirat, tidak ada yang (bobotnya) lebih berat dibanding akhlak yang baik.” (HR Abu Dawud).
Lalu apa sesungguhnya akhlak itu? Banyak cendekiawan muslim yang telah memberikan definisi dengan bahasa yang beragam, kendati pada ujungnya memiliki pemaknaan yang sama. Diantara yang memberikan definisi dengan baik, adalah Imam al-Ghazali (w. 505 H), penuالlis maha karya ‘Ihya Ulum al-Din dan maestro tasawuf akhlaqi yang menjadi panutan utama mayoritas kaum muslim dunia di bidang akhlak. Menurutnya (Ihya’ ‘Ulum al-Din: III/49), akhlak adalah:
عِباَرَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ راَسِخَةٌ عَنْهاَ تَصْدُرُ الآفْعاَلُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ
Artinya: “Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran dan perencanaan.”
Dengan demikian, akhlak adalah karakter yang sudah mendarah daging, yang muncul dengan sendirinya tanpa memerlukan pemikiran, persiapan, apalagi perencanaan. Akhlak berarti hal-hal alamiah yang muncul secara spontan. Menurut Imam al-Jurjani, jika yang muncul itu perilaku yang baik (al-af’al al-hasanah), maka itulah akhlak yang baik (khuluqan hasanan). Sebaliknya jika yang muncul adalah perilaku buruk (al-af’al al-qabihah), maka itulah akhlak yang buruk (khuluqan sayyian). Dan hal-hal ini, baik akhlak yang baik maupun buruk, itu terbentuk oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga, pergaulan atau pendidikan dan sebagainya.
Dan akhlak ini menjadi kesejatian manusia, yang tidak ada kaitannya dengan faktor-faktor fisik sama sekali, karena akhlak lebih terkait dengan hal-hal batin, karkater, sikap, sifat, kejiwaan dan sejenisnya. Inilah yang menjadi penentu kehormatan manusia. Karenanya, Mata, tangan, hidung, telinga, kaki, dan anggota badan lainnya, tidak memiliki makna apapun di hadapan Allah Swt jika yang punya tidak memiliki akhlak baik. Karena, hanya akhlaklah yang menjadikannya sebagai manusia sejati atau sebaliknya sebagai binatang sejati. Dan itulah intisari dari tindak-tanduk manusia yang akan dinilai Allah Swt di hari perhitungan kelak.
Karenanya, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, memiliki misi pokok untuk mengentaskan manusia dari akhlak yang buruk (al-akhlaq al-madzmumah) menuju akhlak yang baik (al-akhlaq al-mahmudah). Dengan akhlak yang baik ini, diharapkan manusia maupun makhluk lainnya, akan mendapat kemanfaatan bukan malah kemudharatan. Untuk itu, keseluruhan bi’tsah Rasulullah Saw, secara khusus diorientasikan li utammima makarim al-akhlak (untuk menyempurnakan akhlak).
Dalam sabda-sabdanya, karena itu, Rasulullah Saw juga acap mewanti-wanti kepada umatnya untuk senantiasa berakhlak baik. Misalnya dalam Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi: III/433), Imam Ahmad bin Hanbal (Musnad Ahmad bin Hanbal: XXXV/284) dan Imam al-Darimi (Sunan al-Darimi: III/1387) dari Abu Dzarr al-Ghiffari, Rasulullah Saw memerintahkan:
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Artinya: ”Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan karena kebaikan akan menghapus keburukan, dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. al-Tirmidzi, Ahmad dan al-Darimi).
Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziah (al-Fawaid: h. 81), diantara faedah Hadis Rasulullah Saw di atas yang menggabungkan antara takwa dan akhlak yang mulia, adalah karena takwa akan memperbaiki hubungan antara hamba dan Allah, sedangkan akhlak yang mulia memperbaiki hubungan antar sesama. Takwa pada Allah mendatangkan cinta Allah, sedangkan akhlak yang baik mendatangkan kecintaan manusia. Ini menunjukkan, akhlak yang baik memiliki timbangan tertentu baik di hadapan Allah Swt maupun di hadapan manusia. Dengan demikian, diharapkan akhlak yang baik akan selalu menjadi pijakan dalam bertindak di tengah masyarakat.
Rasulullah Saw sendiri misalnya, dikenang hingga kini di seluruh jagad raya oleh milyaran manusia, bukan saja karena ajaran keagamaan yang diembannya, melainkan terutama karena kemuliaan akhlak yang dimilikinya. Tutur sapanya lembut, perangainya juga santun, penyabar, pemaaf bahkan pada siapapun yang memusuhinya, dan senantiasa bersimpati sekaligus berempati pada shahabat-shahabatnya yang terkena musibah. Pointnya, beliau adalah cerminan akhlak yang agung nan luhur. Ini sesuai firman Allah Swt:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. al-Qalam: 4).
Diantara keluhuran akhlaknya, misalnya sebagaimana diceritakan oleh Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari: VII/1073) dan Imam Muslim (Shahih Muslim: VII/180). Suatu ketika para shahabat menginformasikan pada Rasulullah Saw tentang Suku Daus (ada yang menyebut Dus), yang sangat membenci dan memusuhi Islam dan pemeluknya. Para shahabat memohon pada Rasulullah untuk mendoa laknat bagi mereka.
Atas desakan itu, maka Rasulullah Saw berdoa:
اَلّلهُمَّ اهْدِ دَوْساً
Artinya: “Ya Allah, berilah petunjuk pada Kaum Daus.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Desakan para shahabat supaya Rasulullah Saw mendoakan keburukan atau bahkan kebinasaan pada Suku Daus, nyatanya tidak serta-merta direspon oleh beliau. Benar, beliau menuruti para shahabatnya untuk mendoakan, namun nyatanya bukan doa laknat, melainkan doa hidayah. Ini jelas tergambar dari redaksi doa yang beliau panjatkan dengan penuh ketulusan dan kekhusyu’an: Ya Allah, berilah petunjuk kepada Kaum Daus. Ini tidak akan terjadi jika beliau tidak memiliki perangai yang luhur. Kkarenanya, tepat sekali Allah Swt menyebutnya dengan wa innaka la ala khuluqin ahim (sesungguhnya kamu Muhammad memiliki akhlak yang agung). Itulah yang menjadikan Rasulullah Saw sebagai manusia sempurna.
Untuk itu, sebagai umatnya, kita harus meneladani akhlak mulia yang dicontohkan Rasulullah Saw itu, sebisa mungkin. Dengan akhlak mulia ini, diharapkan kedamaian dan ketenteraman di muka bumi ini akan tercipta. Itulah sejatinya alasan Islam diturunkan ke muka bumi ini. Untuk melengkapi harapan kemuliaan akhlak ini, kiranya doa yang diajarkan Rasulullah Saw, sebagaimana diriwayatkan Imam al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi: V/467) dari Quthbah bin Malik, ini patut dipanjatkan setiap saat:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar.” (HR. al-Tirmidzi).[]
Penulis adalah Guru Al-Quran Hadis MTs Qothrotul Falah Lebak Banten