Mempolitisir Kalimah Tauhid

BAGIKAN:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Nurul H. Maarif*)

Hari-hari ini kita dihebohkan oleh peristiwa pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang dilakukan oleh Anggota Banser Garut, saat apel Hari Santri Nasioal (HSN), Senin, 22 Oktober 2018, di Limbangan Garut Jawa Barat.

Sontak saja, peristiwa ini mendulang aneka reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Aneka bully-an diterima oleh pelakunya, organisasi yang menaunginya, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) sebagai indung semangnya. Pro-kontra itu dipicu keberadaan kalimah tauhid “La ilaha illa Allah” yang tertulis di bendera itu.

Yang pro menilai, pembakaran itu dilakukan untuk menghormati kalimah tauhid yang tidak semestinya ditulis di sembarang tempat. Lebih-lebih lagi, kalimah tauhid itu ditulis untuk kepentingan politis dan pragmatis oleh kelompok HTI (juga ISIS), yang sudah dinyatakan terlarang di negeri ini, karena misinya mengganti sistem negara menjadi khilafah.

Yang kontra menilai, kalimah tauhid itu suci dan sakral. Harus diagungkan. Tak semestinya dibakar sembarangan. Pembakaran dinilai melukai perasan kaum muslim di seantero dunia. Cacian, hinaan, dan aneka cap buruk, lalu dialamatkan pada siapapun yang terkait dengan peristiwa ini. Laporan-laporan ke pihak berwajib, juga usulan penangkapan pada pelakunya, terus bergulir. Polisipun bergerak sigap.

Usai melakukan investigasi mendalam, di Mapolda Jabar Bandung, Kapolda Jabar Irjen Agung Budi Maryoto menyatakan: “Berdasarkan hasil pemeriksaan, bahwa bendera yang diambil dan dibakar itu bendera HTI.” (www.detik.com, 23 Oktober 2018). Pembakaran itu bukan untuk melecehkan kalimah tauhid, melainkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini dari para perongrongnya yang memolitisir kalimah tauhid sebagai simbol gerakan mereka.

Melihat secara Jernih
Menghadapi peristiwa yang berpotensi memecah kebersamaan bangsa ini, kiranya kita perlu melihatnya secara jernih dan penuh kejujuran. Apalagi ditengarai, ada pihak-pihak tertentu yang “ikut bermain” dan “mengambil untung” dari peristiwa ini. Karena itu, ada beberapa catatan yang penting menjadi perhatian.

Pertama, kita harus membedakan antara kalimah tauhid yang suci dengan kalimah tauhid yang dipolitisir untuk agenda politik kelompok tertentu. Umat Islam di seluruh dunia, semua mengakui kesucian dan kesakralan kalimah tauhid. Ia haruslah ditempatkan di tempat yang mulia.

Dalam banyak keterangan, ulama Syafi’iyah menghukumi makruh menulis ayat Alquran, kalimah tauhid dan lainnya, bila tidak bisa dijaga kemuliaannya, termasuk menulisnya di bendera. Ulama Malikiyyah bahkan mengharamkannya. Andai kadung ditulis, maka dianjurkan menghapusnya atau membakarnya. Zainuddin al-Malibari menyatakan, menghapusnya dengan air lebih utama ketimbang membakarnya.

Kedua, dalam konteks bendera yang dibakar di Limbangan Garut Jabar, sesuai investigasi kepolisian dan pengakuan pelaku juga saksi, maka yang dibakar adalah bendera kelompok HTI, kelompok anti NKRI, yang terus bergerilya ingin mengganti sistem kenegaraan negeri ini dengan khilafah. Banyak kalangan menilai, gerakan politis HTI sudah mengarah pada makar. Pemerintahpun secara resmi melarang keberadaannya sejak 2017 lalu. Karena itu, wajib hukumnya membedakan antara membakar kalimah tauhid yang suci dengan membakar simbol HTI dengan gerakan politiknya. Tidak ada pelecehan pada kalimah tauhid. Yang ada penghancuran pada simbol kelompok yang menentang ideologi bangsa ini. Siapa hendak mendukung kelompok ini dan memecah persatuan bangsa?

Ketiga, membakar lafal tauhid tidak serta-merta membenci atau bahkan tidak menghargai ketauhidan. Ada konteks yang melatarinya, yang patut dipahami. Dalam peristiwa ini, kalimah tauhid dipolitisir untuk melawan negara, bukan untuk mengagungkan keesaan Tuhan secara genuine. Ini yang membahayakan negara kesatuan ini. Dan semua paham, Banser, Ansor dan NU, adalah kelompok yang paling lantang bersuara “NKRI harga mati!” Mereka paham sejarah dan turut berjuang berdarah-darah mempertahankan kesatuan negara ini sejak pra-kemerdekaan, paskakemerdakaan dan terus hingga kini. Bahkan saat terjadi pertistiwa PKI 1965, Banser-lah yang terdepan berhadapan dengan mereka.

Jika membakar bendera HTI atau ISIS (bentuk dan jenis tulisan atau khat dua bendera itu berbeda) identik dengan pelecehan tauhid, bagaimana dengan perintah Rasulullah Saw membakar Masjid Dhirar? Apakah Rasulullah Saw berarti tidak menghargai tempat suci umat Islam? Sama sekali tidak! Rasulullah Saw melihat dengan nyata, masjid itu tidak mendatangkan kemaslahatan, melainkan kemadharatan, karena dijadikan tempat propaganda oleh kaum munafik untuk memecah-belah kaum muslim. Dan semua tidak ada yang protes atas kebijakan Rasulullah Saw itu.

Jika membakar bendera HTI atau ISIS identik dengan pelecehan tauhid, bagaimana dengan kebijakan Usman bin Affan membakar Alquran yang dikumpulkam oleh Abu Bakar al-Shiddiq beserta timnya? Apakah berarti Usman tidak menghargai dan sekaligus melecehkan Alquran? Tidak sama sekali! Dua belas ribuan shahabat yang masih hidup kala itu tidak ada yang protes sama sekali. Bahkan Ali bin Abi Thalib dengan lantang menyatakan: “Andai Usman tidak melakukannya, aku sendiri yang akan melakukannya.”

Mush’ab bin Sa’ad berkomentar: “Aku mendapati banyak manusia ketika Usman membakar Alqur’an dan aku heran tidak ada seorangpun yang mengingkari/menyalahkan kebijakan Usman.” Ibn al-‘Arabi juga menyatakan: “Itu kebaikan terbesar Usman dan akhlaknya yang paling mulia, karena ia menghilangkan perselisihan, lalu Allah Swt menjaga Alqur’an melalui tangannya.”

Mereka, para shahabat yang mulia itu, paham konteks dan mengerti kemaslahatan. Apa yang dilakukan Usman bukan untuk melecehkan kitab suci umat Islam, melainkan menyelamatkan umat Islam dari perpecahan. Ini dilakukannya setelah menerima laporan Hudzaifah bin al-Yaman terkait perseteruan yang meruncing akibat keragaman model pembacaan Alquran (qiraat), yang terjadi di berbagai wilayah. Dan benar, usai pelaksanaan kebijakan itu, umat Islam damai tenteram hingga kini, terkait model pembacaan Alquran itu.

Namun demikian, sejujurnya penulis sendiri tidak setuju dengan aksi pembakaran itu, karena akan memantik persepsi yang beragam. Cukup serahkan pada yang berwajib, biarkan mereka yang menindaknya. Kita paham, ini tahun politik. Apapun yang dilakukan, akan mudah “digoreng hingga gosong” untuk memanaskan kontestasi Pilpres 2019. Banyak yang memancing di air keruh. Tidak menutup kemungkinan juga adanya kelompok tertentu yang sengaja ingin melihat bangsa ini terpecah dan tercerai-berai.

Karena itu, kita semua harus waspada, berfikir positif dengan mengedepankan tabayun sekaligsu menjauhi prasangka buruk, juga bergandengan erat untuk menjaga NKRI dari aneka rongrongan. Wa allah a’lam.[]

*) Penulis adalah Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak dan Wakil Ketua PCNU Kab. Lebak Banten.

Pondok Pesantren Qothrotul Falah

Alamat:
Jl. Sampay-Cileles Km. 5
Ds. Sumurbandung Kec. Cikulur Kab. Lebak
Provinsi Banten (43256)

Developed by