Terus-menerus bertakwa (tattaqun), adalah tujuan utama disyariatkannya puasa Ramadhan bagi kaum muslim (Qs. al-Baqarah: 183). Digembleng sebulan penuh untuk al-imsak (menahan diri) dari makan, minum, hubungan seksual, plus melalui ibadah qiyam al-lail/tarawih, dll, diharapkan ketakwaan mereka meningkat dan konsisten pada 11 bulan setelahnya.
Berdasarkan interaksi dengan berbagai orang, Penulis mendapati kesimpulan; level ketakwaan mereka lebih baik pada Ramadhan dan menurun setelahnya. Indikasi kenaikan ketakwaan (jika ketakwaan dimaknai sebagai ‘menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya’) itu, antara lain, shalat wajib kian tepat waktu dan bahkan berjamaah, shalat sunnah kian banyak intensitasnya, tilawah Alquran kian banyak hasil lembarnya, dan ucapan yang tidak baik benar-benar dijaga dari mulutnya.
Shalat tahajud dan shalat witir yang pada hari biasa berat ditunaikan, pada Ramadhan begitu ringannya. Nyaris setiap malam dikerjakan tanpa alfa. Pada Ramadhan, semangat beribadah meningkat berkali lipat. Semangat melabrak larangan surut begitu jauh. Akhirnya, yang muncul hanya kebaikan. Keburukan tidak punya tempat. Ini dialami oleh kebanyakan kaum muslim.
Ini dampak langsung dari “perut yang kosong nan lapar”. Perut itu sumber penyakit. Baik penyakit jasmani maupun ruhani. Banyak makan dan tidak mampu mengontrol diri, jasmani potensial terimbas berbagai penyakit; kolesterol, asam urat, darah tinggi, jantung, dll. Ruhani pun akan terkena imbasnya; ibadah melemah dan kedurhakaan meningkat. Dengan perut lapar, semua terkendali. Kesehatan jasmani diraih. Kesehatan ruhani didapat.
Selain itu, rupanya peningkatan kadar ketakwaan pada Ramadhan ini terjadi karena reward pelipatgandaan pahala. Ampunan dihambur-hamburkan oleh Allah Swt. Pintu surga dibuka lebar. Pintu neraka ditutup rapat, sebagaimana Hadis riwayat Imam al-Bukhari, dalam Shahih al-Bukhari. Bahkan ada door prize spesial Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik ketimbang 1000 bulan (Qs. al-Qadr: 3). Reward sedekah juga dilipatgandakan. Begitu pula amalan baik lainnya. Ini memantik kaum muslim berlomba mengerjakan ibadah. Lingkungan pun mendukung, karena seluruh kaum muslim yang taat mengerjakan amalan-amalan ini secara serempak.
Pertanyaannya: apakah gempita ketakwaan ini juga (akan) terjadi pada 11 bulan di luar Ramadhan?
Lumrahnya, gempita ketakwaan ini mengendor seketika seiring perginya Ramadhan. Semakin jauh dari Ramadhan, gempita ketakwaan kian memudar dan begitu seterusnya. Akhirnya, Ramadhan dilalui dengan standar maksimal ketakwaan, 11 bulan pascaramadhan pun dilalui dengan standar minimal ketakwaan, hingga datang Ramadhan berikutnya untuk men-charge baterai ketakwaan yang makin melemah.
Untuk itu, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah kongrit untuk menjaga konsistensi ketakwaan pascaramadhan ini, sesuai tujuan utama ditetapkannya puasa. Pertama, perlu kesadaran bahwa Allah Swt tidak hanya ada pada Ramadhan, tapi juga di luarnya. Jika pada Ramadhan kaum muslim beribadah kepada Allah Swt, maka di luar Ramadhan pun mereka tetap harus terus beribadah pada-Nya. Inilah cara memberikan hak-Nya. Jin dan manusia diciptakan untuk beribadah pada-Nya (Qs. al-Dzariyat: 56). Dan itu harus dikerjakan sepanjang waktu. Bukan hanya pada Ramadhan.
Kedua, pada umumnya, peningkatan kadar ketakwaan itu dipengaruhi faktor lingkungan sosial. Jika orang di sekeliling berpuasa, semua ikut puasa. Mereka tarawih, semua ikutan tarawih. Mereka bangun malam untuk shalat malam dan sahur, semua ikutan melakukan. Pun, ketika mereka tilawah Alquran mengejar target khatam, semua juga melakukan hal serupa. Di luar Ramadhan, hal-hal ini tidak terjadi. Maka umumnya pelakunya hanya sebagian.
Karena itu, kiranya nuansa Ramadhan perlu digeser ke bulan-bulan lain pascaramadhan. Misalnya, ada baiknya diciptakan suasana seperti Ramadhan di lingkup keluarga, dengan melibatkan istri/suami, anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Bangun malam, tilawah Alquran, puasa sunnah, sedekah, dll, perlu diciptakan dalam skala kecil ini, sehingga menjadi kebiasaan. Insya Allah, jika sudah menjadi kebiasaan, maka lingkungan yang penuh ketakwaan akan terbentuk perlahan.
Ketiga, pentingnya kesadaran bahwa pelipatgandaan pahala tidak hanya terjadi pada Ramadhan, tapi juga di luarnya. Setiap kebaikan yang ditunaikan, kata Allah Swt, akan dilipatgandakan menjadi 10 kali (Qs. al-An’am: 160). Misalnya, pahala tahajud, dhuha, puasa sunnah, tilawah Alquran, sedekah, dll, akan dilipatgandakan juga di luar Ramadhan. Bahkan Allah Swt juga memberi keistimewaan pada bulan lain selain Ramadhan; Muharram, Rajab, Sya’ban, Dzulhijjah, dll.
Konsistensi ibadah di luar Ramadhan ini penting dijaga, supaya target pewajiban puasa tercapai. Hanya memang, kaum muslim umumnya senang yang instan; pekerjaan sedikit bonus besar. Ini memang ada pada Ramadhan. Tapi ini tentu saja cara berfikir “petaruh”, bukan cara berfikir orang yang sedang bertransaksi dengan Allah Swt, sebagai hamba yang tugas utamanya memang untuk beribadah. Wa Allah a’lam.[]
Dr. H. Nurul H. Maarif, M.A.
Pengelola Ponpes Anak-anak Qothrotul Falah Lebak Banten