PERTANYAAN:
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Sehat Pak Kiai? Semoga Pak Kiai dan keluarga senantiasa diberi-Nya kesehatan dan kesuksesan menjalankan kegiatan sehari-hari. Amin!
Pak Kiai, saya mau tanya tentang pernikahan sesusu. Saya saat ini memiliki hubungan dengan laki-laki sesusuan. Tapi menurut penuturan Ibu susuan saya, waktu itu saya hanya sekali menyusu padanya. Sebelum itu, Abang saya juga pernah menyusu sekali dengannya. Bagaimana jika kami menikah? Apakah hukumnya haram? Saya sendiri sudah mencari informasi tentang hal ini. Ternyata ada yang berpendapat, bahwa lima kali menyusui itu yang diharamkan untuk menikah.
Mohon pencerahannya Pak Kiai. Terima kasih atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
PENANYA
Amy,
Pekanbaru Riau
JAWABAN
Wa’alaikumussalam, Wr. Wb.
al-Hamdulillah, saya dan keluarga sehat selalu dan masih tetap beraktivitas sebagaimana biasanya. Semoga Sdr Amy di Pekanbaru Riau yang sedang bingung juga dalam keadaan baik-baik saja. Amin!
Terima kasih atas pertanyaan yang Sdr Amy sampaikan. Sdr Amy yang baik, dalam fikih Islam, proses penyusuan ini biasanya dikenal dengan istilah radha’ah atau susuan. Nabi Muhammad SAW sendiri waktu bayinya melakukan radha’ah. Ini menunjukkan, radha’ah (kepada Ibu yang baik tentunya) diperkenankan oleh agama. Apalagi jika yang menyusu benar-benar membutuhkan, misalnya karena ditinggal mati/pergi oleh ibu kandungnya. Inilah sebentuk kemurahan dan kepedulian sosial dalam Islam.
Namun demikian, sebagaimana dijelaskan dalam fikih Islam, radha’ah ini memiliki konsekuensi kemahraman, baik kepada Ibu susuannya, maupun kepada orang lain yang turut menyusu pada Ibu susuan itu – yang biasa disebut “saudara sesusu”. Jika status kemahraman ini terjadi, maka hal-hal yang terlarang karena mahram, juga terlarang di sini. Nah, yang Sdr Amy tanyakan itu, terkait status kemahraman dengan saudara sesusuan (yang Sdr Amy sebut Abang); apakah menyebabkan Sdr Amy dan Abang terlarang menikah karena kalian sama-sama menyusu pada Ibu yang satu?
Menurut hukum Islam, kemahraman karena radha’ah, itu terjadi jika frekuensi menyusunya minimal mencapai lima kali hingga mengenyangkan (khamsu ra’dhaatin ma’lumatin yuharrimna), persis sesuai informasi yang Sdr Amy dapati. Sekali kenyang, dua kali kenyang, dan seterusnya, hingga lima kali. Frekuensi inilah yang akan menjadikan darah Sdr Amy “sama” dengan darah Ibu susuan itu. Dengan demikian, jika Sdr Amy hanya menyusu sekali, sebagaimana penuturun Ibu susuan Sdr Amy, maka insya Allah itu belum menyebabkan kemahraman. Apalagi si Abang menyusunya juga cuma sekali. Kalaupun si Abang ternyata anak kandung Ibu itu, maka hubungan itu juga tidak apa-apa karena Sdr Amy hanya menyusu sekali.
Itu sebabnya, insya Allah, dengan hanya menyusu sekali, maka Sdr Amy dan Abang tidak terlarang menjalin tali pernikahan. Silahkan saja, jika si Ibu susuan setuju dan si Abang meng-iyakan, Sdr Amy segera saja melangsungkan pernikahan sesuai ketentuan hukum Islam, supaya hubungan cintanya lebih terjaga dan aman. Tentu harus dicarikan walinya atau jika tidak ada ya cukup wali hakim. Cari saksi-saksi yang amanah dan lengkapi seluruh rukunnya.
Dan yang tak kalah penting, Sdr Amy perlu menjelaskan status susuan ini kepada masyarakat, untuk jaga-jaga jika ada kesalahpahaman diantara mereka. Bisa jadi ada dugaan, Sdr Amy menikahi saudara sesusunya dan itu dilarang agama, maka pernikahannya dianggap batal. Lalu timbul fitnah macam-macam. Padahal, mereka tidak tahu bahwa Sdr Amy hanya sekali menyusu dan itu tidak menyebabkan keharaman menjalin tali pernikahan. Mungkin tidak harus Sdr Amy yang menjelaskan, melainkan tokoh masyarakat di situ yang suaranya didengar.
Mudah-mudahan, jika memang Sdr Amy dan Abang ada niatan serius menjalin tali pernikahan, maka pernikahan ini mendapatkan keberkahan dari Allah dan persetujuan dari semua pihak, sehingga cita-cita menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, akan mudah tercapai. Amin!
Demikian jawaban yang bisa saya sampaikan. Semoga Sdr Amy bisa memahaminya dan tidak lagi bimbang untuk segera melangsungkan pernikahan dengan pujaan hatinya. Wa Allah a’lam.[]
Cikulur, 10 Mei 2012