Oleh Nurul H. Maarif*)
Dalam Shahih Muslim (IV/2174), Muslim bin al-Hajjaj meriwayatkan Hadis yang bersumber dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda: “Surga dilingkupi hal-hal yang tidak disukai dan neraka dilingkupi hal-hal yang disukai.”
Hal-hal yang tidak disukai atau al-makarih, itu terkait ibadah pada Allah Swt atau kebaikan-kebaikan umumnya. Misalnya, shalat, puasa, zakat, haji atau sedekah. Hal-hal ini “tidak disukai” karena berat ditunaikan. Godaannya tidak ringan. Sedang hal-hal yang disukai atau al-syahawat, itu terkait selera nafsu manusia pada umumnya.
Contoh kecil! Di sepertiga malam, bangun shalat tahajjud (Qs. al-Isra [17]: 79), bersujud (Qs. al-Insan [76]: 25-26) atau bertasbih (Qs. Qaf [50]: 40), itu berat dilaksanakan. Udara dingin, kantuk, dan sunyi malam, harus dilawan. Padahal banyak orang tengah terlelap tidur dengan sejuta mimpi indahnya. Secara naluriah, kita lebih enjoy menarik selimut untuk tidur kembali. Terkadang juga, kita lebih mudah dan semangat bangun malam untuk nonton sepak bola, ketimbang beribadah.
Dengan Rp. 5 juta misalnya, lebih ringan mana kita menginfakkannya untuk membantu yatim, menyumbang masjid/pesantren atau membelanjakannya ke mall untuk membeli barang-barang kesukaan seperti makanan, pakaian, sepatu atau handphone? Secara naluriah, mentasarufkan uang untuk kebaikan itu lebih berat ketimbang untuk selera konsumerisme. Ke mall, uang sejumlah itu bahkan akan habis dalam waktu singkat dan bisa jadi kurang.
Puasa juga kiranya demikian. Secara naluriah, kita lebih memilih menuruti keinginan tidak berpuasa. Ingin makan sebanyak-banyaknya tanpa peduli kesehatan diri. Puasa, dengan menahan lapar, haus, hubungan suami isteri, aneka keburukan lainnya, tidak mudah dijalani. Kala berpuasapun, orientasi kita seringkali justru pada adzan Maghrib. Mengoleksi aneka jenis makanan menjadi hobi baru di bulan Ramadan, karena kuliner bermunculan di mana-mana menawarkan berbagai hidangan. Ketika tengah menjalani puasapun, orientasi kita sudah pada Idul Fitri dengan aneka kesenangan duniawinya.
Hanya orang-orang yang dilimpahi al-nafsu al-mutmainnah saja yang mampu menerobos al-makarih menjadi kegembiraan dan kerinduan. Menurut Ahmad Farid, dalam Tazkiyah al-Nufus (h. 70-73), mereka inilah orang-orang yang jiwanya tenang dan nyaman mengingat Allah, senantiasa ingin kembali dan rindu beberjumpa pada-Nya, dan merasa akrab dengan-Nya. Mereka akan kembali pada-Nya dengan penuh keridaan (Qs. al-Fajr [89]: 27-28). Di sisi lain, manusia memiliki al-nafsu al-amarah bi al-su’ (Qs. Yusuf [12]: 53) atau al-nafs al-madzmumah, yang senantiasa memerintah pada keburukan, termasuk menerobos al-syahawat (hal-hal yang disukainya).
Manusia memang memiliki dua kecenderungan itu sekaligus; menjalani kebaikan karena dalam dirinya ada lamhah malakiyyah (kerlingan malaikat) dan menjalankan keburukan karena dalam dirinya ada lamhah syaithaniyyah (kerlingan setan). Mana yang menang, itulah yang dominan.
Di sinilah peran penting ajaran berpuasa, yang filosofi dasarnya untuk menciptakan pribadi-pribadi bertakwa (Qs. al-Baqarah [2]: 183). Puasa itu melatih “tidak” pada al-syahawat dan mengajarkan menolak keinginan nafsu yang buruk. Lihat saja! Puasa menyatakan “tidak” pada makan, “tidak” pada minum, “tidak” pada hubungan biologis, “tidak” pada kebohongan, “tidak” pada kerakusan, atau “tidak” pada kemalasan. Sebab, menuruti keinginan akan melahirkan kerakusan, menghadirkan kerusakan dan menimbulkan kesukaran bagi banyak orang.
Benar kata Emha Ainun Najib: “Puasa itu melatih “tidak”, karena kehidupan sehari-hari kita adalah melampiaskan “ya”.”[]
*) Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak dan Penerima Apresiasi Pendidikan Madrasah Kemenag Banten 2017 Kategori Guru Madrasah Produktif
(HU Radar Banten, Sabtu, 2 Juni 2018)