Oleh Nurul H. Maarif*)
Ramadan selalu menghadirkan keunikan. Terkadang juga hal-hal tak terduga. Bulan suci ini, identik dengan perilaku yang suci. Mendadak kita tekun beribadah. Maksiat berkurang drastis. Berlomba-lomba dalam kebaikan terjadi di mana-mana. Di sisi lain, ironisnya, tidak hanya spiritualitas yang meningkat drastis. Kriminalitaspun ikut-ikutan menaik tajam. Bentuknya bisa beragam, terutama pencurian. Pelakunya orang-orang beragama, termasuk yang mengaku beragama Islam. Islam yang hanya di mulut, bukan di hati dan tindakan.
Dilansir oleh www.kompas.com, pada 2017, kriminalitas di bulan Ramadan sejak 2013 terus merangkak naik, dalam berbagai ragamnya. Data Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri, misalnya menunjukkan, pada 2013, lebaran 8 Agustus, angka kejahatan selama Juli-Agustus tercatat 448 kasus. Pada 2014, lebaran 28 Juli, kejahatan meningkat lima kali lipat. Tercatat 2.539 kejahatan terjadi di bulan itu.
Pada 2015, lebaran 17 Juli 2015, tingkat kejahatan melonjak nyaris 100 persen. Sedikitnya 4.925 kejahatan terjadi dalam kurun waktu itu. Kriminalitas ini terjadi, karena ketidakmampuan menahan diri atau al-imsak dari tuntutan perut. Kita belum benar-benar menghayati dan meresapi makna puasa. Akibatnya, aneka pelanggaran, termasuk kriminalitas, masih dilakukan, hatta di bulan penuh kemuliaan ini.
Nafsu syahwati (nafs al-ammarah bi al-su’) memang tidak pernah selesai dipenuhi. Semakin dituruti, semakin liar dan ganas. Semakin ketagihan. Hanya qanaah, sifat menerima pemberian Allah Swt dengan legowo dan penuh syukur, yang mampu mencegahnya. Bersumber dari Anas bin Malik, Imam Muslim (Shahih Muslim: II/725) meriwayatkan, Rasulullah Saw bersabda: “Andaikan Anak Adam memiliki satu lembah emas, dia senang jika memiliki lembah emas lainnya. Dan tidak memenuhi mulutnya kecuali debu. Allah menerima taubat siapapun yang bertaubat.” Hanya kematian yang menghentikan ketamakan.
Dan untuk memenuhi nafsu perut itu, apapun dilakukan. Tak peduli aturan agama dan sosial. Dampak kerugian bagi orang lain, tak ada dalam pikiran dan perasaan. Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari: III/335) meriwayatkan Hadis yang bersumber dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “Akan datang pada manusia suatu situasi/zaman, seseorang tidak lagi peduli apa yang diambilnya, apakah dari (jalan) halal maupun dari (jalan) haram.”
Untuk menjaga perilaku buruk itu, karenanya Islam mengajarkan etika luhur dalam mencari rezeki. Carilah rezeki yang halal (halalan) lagi baik (thayyiban)! Halal itu yang tidak dilarang agama, baik karena bentuk aktivitas maupun substansi barangnya. Thayyib itu terkait substansi barang. Misalnya bergizi, menyehatkan dan bermanfaat. Terkait proses mendapatkan rezki, Islam juga memberi arahan yang jelas. Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh nyata bagimu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 168). Setan mengajarkan melabrak batas agama dan sosial. Biasanya, jika telah menarget goal tertentu, 1001 cara ditempuh, baik yang benar maupun yang salah.
Semua ini terjadi karena sifat rakus yang menguasai diri. Lebih-lebih menjelang Idul Fithri. Kebutuhan yang mendesak atau menyenangkan sanak keluarga, menjadi alasan melakukan tindak kriminal. Sifat rakus, sama persis hurufnya dengan rusak dan sukar; rakus-rusak-sukar. Kerakusan, akan menghadirkan kerusakan secara sosial, dan akan berdampak kesukaran bagi orang lain. Kerakusan niscaya melahirkan bencana sosial yang serius.
Karena itu, di momen Ramadan ini, tepatnya beberapa hari menjelang perayaan Idul Fithri, sudah semestinya nafsu duniawi berupa kerakusan ini ditahan sedemikian rupa, sehingga kita menatap hari raya penuh kebahagiaan. Orang yang baik, tidak berbuat kerusakan yang berdampak kesukaran pada orang lain.[]
*) Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak dan Penerima Apresiasi Pendidikan Madrasah Kemenag Banten 2017 Kategori Guru Madrasah Produktif
(HU Radar Banten, Jum’at, 8 Juni 2018)