PERTANYAAN:
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Sehat Pak Kiai? Semoga Pak Kiai dan keluarga senantiasa diberi-Nya kesehatan dan kesuksesan menjalankan kegiatan sehari-hari. Pak Kiai, saya dulu santri di Pondok Pesantren Qothrotul Falah, asuhan Pak Kiai, alumni 2010.
Pak Kiai, saya punya pertanyaan terkait pemberian mas kawin atau mahar kepada calon istri/mempelai wanita. Di tempat saya, Medan, ada kebiasaan, pemberian mahar itu tergantung status calon mempelai wanitanya. Kalau pendidikannya semakin tinggi, maka maharnya juga semakin tinggi. Tradisi ini seakan-akan menjadi kewajiban, yang kalau tidak ditunaikan dianggap menyalahi tradisi yang berkembang.
Melihat tradisi seperti ini, apa pandangan Pak Kiai dan bagaimana Islam mengajarkan tentang mahar? Karena yang saya tahu, Rasulullah SAW menyatakan, sebaik-baik mahar adalah yang paling tinggi.
Itu saja pertanyaan saya, Pak Kiai. Semoga Pak Kiai berkenan memberikan jawaban yang terbaik. Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
PENANYA
Fitri Wulandari,
Medan
JAWABAN
Wa’alaikumussalam, Wr. Wb.
al-Hamdulillah, saya dan keluarga sehat selalu dan masih tetap beraktivitas sebagaimana biasanya. Semoga Sdr Fitri Wulandari di Medan juga dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana kuliah kebidanannya? Semoga lancar dan lekas selesai. Amin!
Terima kasih atas pertanyaannya. Menurut ukuran Islam dan ukuran tradisi masyarakat, mahar terkadang memang berbeda-beda. Di Banten, Jawa, Medan, Padang, Lombok, dan lain sebagainya, seringkali juga tidak sama. Masing-masing punya kearifannya sendiri dan kita tetap harus menghormatinya, selagi tidak membebani dan menyulitkan berlangsungnya pernikahan antara dua pasangan yang sudah saling cocok.
Terkait dengan pertanyaan Sdr Fitri Wulandari, maka ada beberapa hal yang penting direspon. Pertama, mahar merupakan pemberian wajib calon suami untuk mempelai wanita, karena ia adalah hak seorang istri. Allah SWT berfirman: “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (Qs. an-Nisa’ : 4). Namun demikian, kita harus melihat kemampuan calon suami. Mahar juga menjadi pembeda antara pernikahan dengan perzinaan. Yang lebih penting lagi, mahar merupakan bentuk kesiapan dan tanggungjawab suami pada istrinya.
Kedua, insya Allah Nabi Muhammad SAW tidak menyatakan sebaik-baik mahar adalah yang paling tinggi, seperti dituliskan Sdr Fitri Wulandari. Dalam riwayat Abu Dawud dari ‘Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan. ‘Umar bin al-Khaththab menyatakan: Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita, karena kalau mahar itu dianggap sebagai pemuliaan di dunia atau tanda takwa kepada Allah SWT, tentunya Rasulullah SAW lebih dahulu melakukannya daripada kalian. (HR. Abu Dawud).
Ketika seorang shahabat hendak menikah, Rasulullah Saw menyarakan: carilah sekalipun cincin besi. (HR al-Bukhari). Ketika shahabat itu tidak menemukannya, maka Rasulullah menikahkannya dengan mahar “mengajarkan beberapa surat al-Qur’an kepada calon istrinya”. Ini menunjukkan, mahar tidak mesti mahal, apalagi diukur dari status pendidikan si wanita. Yang penting kedua pihak setuju dan tidak membebani mempelai lelaki.
Ketiga, baik al-Qur’an maupun Hadis tidak menentukan secara spefisik mahar itu harus berupa apa; apakah uang, perhiasan, atau apapun. Karenya, mengajarkan ayat-ayat al-Qur’anpun bisa saja dijadikan mahar. Ibnu ‘Abbas menceritakan, ketika menikahkan puterinya, Fatimah, Rasulullah SAW meminta Ali bin Abi Thalib memberikan sesuatu pada calon istrinya sebagai mahar. Ali mengatakan: “Saya tidak memiliki apa-apa.” Rasulullah SAW bertanya: “Mana pakaian besi al-Huthamiyyahmu?” Ali lantas memberikan pakaian besi itu sebagai mahar pernikahannya dengan Fathimah. (HR. Abu Dawud).
Keempat, apa hikmah mahar yang ringan atau mudah? Kalau mahar itu ringan, upaya menyelamatkan kesucian atau kehormatan laki-laki dan wanita juga semakin mudah. Dengan demikian, potensi terjadinya penyimpangan hubungan laki-laki dan wanita (zina) semakin terkurangi juga. Ini yang harus lebih diutamakan. Sebab, semakin mahal maharnya, maka semakin sulitlah kelangsungan pernikahan dan semakin beratlah beban calon pengantin. Ini dikuatirkan akan mendorong terjadinya perzinaan, dan semakin banyak muda-mudi yang membujang.
Kelima, soal tradisi mahar yang berkembang di Medan atau lebih luasnya Batak, maka jika tidak memberatkan pihak calon suami, maka hal itu silahkan saja. Namun jika justru memberatkan dan malah menyulitkan kelangsungan pernikahan, padahal pernikahan tidak boleh ditunda-tunda, maka Islam sendiri memberikan anjuran pemberian mahar lebih baik yang ringan saja. Tidak perlu dipaksakan, jika dampaknya malah kurang baik untuk kedua belah pihak.
Demikian jawaban yang bisa saya sampaikan. Semoga bisa dipahami dan bermanfaat. Wa Allah a’lam.[]
Cikulur, 4 Februari 2012